Pasien Khusus (Bagian 1)

Sebelumnya: Rumah Dinas (Bagian 2)

Ketika saya datang dan tinggal di desa S sebagai dokter PTT dan masih menumpang di rumah dinas Kepala Puskesmas (Kapus), saya belum dikenal banyak orang. Tentu tidak ada pasien yang khusus mencari saya. Saya hanya memeriksa pasien yang datang ke puskesmas. Kadang-kadang di sore atau malam hari ada pasien yang datang ke rumah dinas Kapus. Itu adalah pasien pribadi yang datang ke tempat “praktek” Kapus. Saya biasanya di dalam kamar saja pada saat ada pasien pribadi itu.

Suatu malam saya dipanggil keluar kamar oleh pembantu Kapus  -- Niar. 
Niar: Kak Ros, dipanggil Kakak sebentar. 
Saya: Ada apa? 
Niar: Gak tahu, Kak. 

Kami keluar mendapati Kapus dan saya lihat ada seorang anak laki-laki berusia sekitar 3-4 tahun dengan beberapa perempuan dewasa. Sepintas lalu saya tidak mengerti siapa yang sakit sehingga begitu banyak yang mengantar. Anak laki-laki itu kelihatan sehat.

Kapus: Ros, coba kamu lihat telinga anak itu. Kata ibunya dia memasukkan padi ke dalamnya dan mereka tidak bisa mengeluarkannya. 
Saya memandang Kapus dengan heran. Mengapa menyuruh saya? Tapi tentu tidak etis kalau itu saya tanyakan. Lagipula, mendengar ada corpus alienum (benda asing) dalam rongga telinga saja saya sudah excited. Ini kasus favorit saya. 

Sejak kecil Papa selalu membersihkan kuping kami menggunakan pinset dan saya mewarisi —kalau boleh disebut “keahlian”nya. Bagaimanapun, tidak semua orang berani mengambil benda asing yang masuk ke lubang-lubang tubuh seorang manusia lain, bukan? 

Saya: Ada senter dan pinset lancip? 
Kapus memberikan kedua alat yang saya minta. Pembaca harap ingat, saya sedang bercerita tentang desa S di malam hari. Di ruang depan rumah Kapus hanya ada satu lampu dinding. Wajah para pengantar anak itu pun tidak bisa saya lihat dengan jelas. Untunglah senternya cukup terang. Masalahnya, senter itu bukan alat khusus dokter Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) yang dipakai di kepala sehingga saya bisa bekerja dengan kedua tangan. Biasanya kalau Papa membersihkan rongga telinga kami, salah seorang dari kami bertugas memegang senter dan Papa akan menginstruksikan, “Kiri sedikit, atas dikit…” Saya tidak ingin memberi instruksi seperti itu kepada Kapus saya. Saya mengarahkan senter ke telinga si anak sambil agak “menjewer” daun telinganya untuk bisa melihat lebih jelas. Aha! Memang ada sesuatu benda asing di situ dan cukup dalam. Tidak masalah karena saya sangat percaya diri dalam kasus ini. Saya jepit senter itu antara pipi dan pundak kanan saya, tangan kanan memegang pinset, tangan kiri menarik daun kuping si anak. 

Saya: Anak pemberani! Hebat, gak takut dan gak menangis sama sekali. 
Ibu: Apa tidak menangis? Sudah capek dia menangis tadi kupukuli. 
Saya: Wah, kok dipukul, Bu?
Sudah… Ini padinya… 
Saya (menepuk pelan pipi anak itu): Lain kali gak boleh masukkan apa-apa ke dalam kupingmu lagi, ya? 

Yang lain-lain pun ikut berkata begitu, serentak pula, termasuk Kapus dan Niar.

Kuping
Ini bukan pasien khusus. Anak-anak suka bermain dengan kuping mereka.

Baca lanjutannya: Pasien Khusus (Bagian 2)

Tambah komentar baru

Teks polos

  • Tidak ada tag HTML yang diperbolehkan.
  • Baris dan paragraf baru akan dibuat otomatis.

Mungkin Januari bukan bulan yang baik untuk berlibur ke Bali, apalagi jika tujuan pertama adalah...

Rose Chen

Air Terjun Shifen 

Rose Chen

Kuil ini terletak di distrik Zhungli, kota Taoyuan. Tempat ibadah seperti ini ada di setiap...

Rose Chen