Anak saya, Andrew waktu itu masih kecil, belum bersekolah adalah anak yang sangat aktif dan pemberani. Mama saya menyebutnya sebagai “sapi hijau yang belum mengenal harimau”. Tidak ada rasa takut hanya karena belum tahu bahaya harimau bagi dia.
Sebagai ibunya, saya tentu bangga punya anak pemberani. Tapi pada suatu hari ketika dia duduk di kelas 5 SD dia mengatakan kepada saya, “Mami, saya takut ketinggian.”
Pertama kali dia mengatakan itu, saya sedang sibuk dan tidak menanggapi. Kedua kali dia katakan, saya bertanya, “Kamu dulu tidak takut apa pun. Mengapa kamu sekarang takut ketinggian?” Andrew menjawab, “Saya tidak tahu. Tetapi kata teman saya, orang yang takut ketinggian semuanya punya imajinasi yang tinggi.”
Saya berbincang-bincang dengan dia tentang hal itu. Intinya saya mengatakan kepadanya untuk tidak mudah percaya pada apa yang dikatakan orang.
“Coba pikir dengan jujur, apa kamu benar-benar takut pada ketinggian? Apa kamu merasa tidak punya imajinasi? Dulu kamu suka memanjat-manjat. Pada waktu itu Mami sebetulnya khawatir kamu jatuh, tapi Mami tidak memperlihatkan ketakutan Mami agar kamu tidak terpengaruh, dan merasa bahwa memanjat itu mengerikan. Mami hanya meminta kamu berhati-hati dan menjaga kamu di bawah.
Ketika kamu menangkap kecoa, Mami tidak mengatakan itu jijik. Mami hanya katakan, kamu tidak boleh memasukkan tanganmu ke dalam mulut atau menggosok matamu karena sekarang tanganmu sudah kotor, kamu harus cuci tangan dulu.”
Jangan biarkan orang lain mengatakan apa seharusnya reaksimu terhadap sesuatu. Kita sering terpengaruh atau bahkan diperngaruhi untuk percaya bahwa reaksi terhadap satu hal adalah “begini”, atau “begitu”. Padahal belum tentu harus demikian. Ketika melihat kecoa, sebagian besar orang merasa jijik, tetapi sebelum kamu tahu reaksi orang banyak seperti itu, kamu tidak merasa jijik. Hanya karena hampir semua temanmu mengatakan kecoa itu menjijikkan, kamu pun bersikap harus juga merasa jijik. Tanpa sadar kamu membuat dirimu merasa jijik melihat kecoa dan tidak mau menyentuh kecoa, bukan karena kecoa itu kotor, tetapi karena kamu berpikir kecoa membuatmu jijik.
Hal yang dipercaya banyak orang, dilakukan oleh banyak orang, tidak selalu berarti bahwa itulah yang benar.
Reaksimu terhadap sesuatu hendaknya berasal dari nuranimu, pengetahuanmu, pendidikanmu, moralmu, attitude-mu. Menerima begitu saja apa yang dikatakan dan dipercayai orang, akan membuat kamu mengabaikan nuranimu, pengetahuanmu, pendidikanmu, moralmu, dan attitude-mu. Bisa-bisa kamu akan sering berpikir yang tidak-tidak. Sikap seperti itu “counter-productive” dan “counter-effective”.
Tambah komentar baru