Kata mengandung daya. Ia punya ruh. Agar penyampaian pesan efektif, wartawan kerap memakai kata ekspresif untuk membantu audience mengatasi segala kendala dan gangguan komunikasi -- misalnya; konsentrasi yang tidak penuh ataupun kebisingan lingkungan. Karena itu kalimat maupun klausa seperti “trio A, B, dan C merobek pertahanan kesebelasan X” atau “demonstran menyemut di Jl. Merdeka Utara” menjadi hal yang biasa dalam laporan media massa.
Kata juga punya konotasi, atau makna tautan. Ada tautan pikiran, nilai rasa yang ada dalam pikiran seseorang yang membuat dia memilih/memakai suatu kata, dan juga tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada orang yang mendengar/membaca kata itu. Dalam jurnalisme Indonesia mutakhir, media massa mencatat banyak “masalah” untuk konteks ini.
*
Salah satu issue yang santer tiga hari terakhir ini adalah mutasi di lingkungan pimpinan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Komisaris Jenderal (Komjen) Budi Waseso berganti jabatan. Dia akan menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), menggantikan Komjen Anang Iskandar yang ditugasi memimpin Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri yang tadinya menjadi wewenang Budi Waseso. Budi Waseso dan Anang Iskandar bertukar tempat/jabatan.
Budi Waseso adalah Kabareskrim Polri yang sepak-terjangnya beberapa kali mengundang kontroversi. Kontroversi itu sebetulnya adalah bagian dari cerita panjang yang dimulai pada masalah yang disebut sebagai “cicak vs buaya”, berlanjut ke kontroversi Komjen Budi Gunawan yang dicalonkan menjadi Kepala Polri (Kapolri), diteruskan dengan keputusan Bareskrim yang menjadikan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan juga penyidik KPK sebagai tersangka suatu perkara. Ketika Budi Waseso memangku jabatan Kabareskrim Polri muncul pendapat bahwa Bareskrim (yang menyatakan tindakannya sebagai upaya pemberantasan korupsi) tengah mengebiri pemberantasan korupsi itu sendiri. Setelah penggeledahan kantor PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II oleh aparat Bareskrim, muncul pendapat “penegakan hukum jangan sampai menimbulkan kegaduhan yang dapat mengganggu perekonomian”. Dalam urusan seperti itulah --beserta pernyataannya yang juga sering tajam-- Budi Waseso menjadi tokoh berita. Tentu ada yang menyetujui tindakannya. Tetapi juga ada yang melihat semua itu sebagai perbuatan unjuk gigi terhadap upaya membongkar korupsi di kalangan kepolisian. Saya sendiri merasa, membuka “file lama” untuk dijadikan senjata buat menyerang-balik (kasus pimpinan dan penyidik KPK), seperti sikap yang oleh anak Jakarta dinyatakan sebagai "lu jual, gua beli”.
*
Di negeri dengan intensitas korupsi tinggi seperti Indonesia tidak mudah mengupayakan penegakan hukum yang bebas dari kepentingan pihak tertentu, termasuk urusan politik. Publik bisa saja melihat fakta berbagai peristiwa penegakan hukum sebagai fakta belaka. Di sisi lain ada khalayak yang memahami fakta tersebut diiringi interpretasi – dan melahirkan opini. Dalam membawakan peran jurnalisme pada situasi seperti itu, profesionalisme menjadi taruhan. Jurnalis, kata orang, tahu tentang banyak soal. Tetapi tidak semua hal tentang suatu soal dapat diketahui jurnalis.
Jurnalisme berpesan agar jurnalis tidak menyertakan dan memperlihatkan opininya dalam menceritakan fakta lewat berita (hard news). Opini (opini media, opini jurnalis) mudah dikenal lewat pernyataan eksplisit. Opini juga tetap dapat “terbaca” lewat pernyataan konotatif. Reuters pernah dinilai sebagai salah satu kantor berita yang teguh mematuhi pesan ini. Reuters tidak menyebut kelompok pemberontak di suatu negara dengan sebutan “gerombolan pengacau” atau “pembangkang” seperti yang dipakai rejim yang ditentang oleh kelompok itu. Organisasi Papua Merdeka (OPM) disebut sebagai OPM, seperti kelompok itu menamakan dirinya. Reuterst tidak memakai kata “kaum separatis” seperti yang dipergunakan pemerintah Republik Indonesia. Dengan cara demikian, apa yang diingatkan Charles Prestwich Scott hampir satu abad yang lampau tetap terjaga.
Scott, editor suratkabar The Manchester Guardian (kini The Guardian), menulis sebuah esai berjudul “A Hundred Years” pada edisi ulang tahun ke-100 (1921) suratkabar tersebut. Salah satu kalimat dalam esai itu yang kemudian populer (sering dikutip) berbunyi “Comment is free, but facts are sacred”. Komentar sifatnya bebas, terserah pada setiap orang, tetapi fakta suci adanya.
Semangat pers bebas, menginginkan hard news menyajikan fakta sebagai fakta belaka. Bebaskan publik memberi makna untuk fakta tersebut. Pers bebas menghendaki fakta tidak diolesi warna – baik berupa pernyataan eksplisit, maupun makna implisit (makna konotatif) yang terkandung dalam bahasa laporan. Karena itulah deskripsi ekspositoris “lebih aman” dibandingkan dengan deskripsi impresionistis, dan narasi ekspositoris “lebih aman” dari narasi sugestif.
Inilah salah satu alasan yang membuat jurnalis tidak boleh sembarangan memakai bahasa karena dari situ dapat muncul persoalan objektivitas dan subjektivitas. Jurnalisme yang objektif vs jurnalisne yang subjektif yang diperdebatkan di Amerika Serikat ketika majalah TIME akan terbit (1921) adalah masalah yang tak pernah redup sepanjang zaman.
Jurnalisme yang objektif tidak pernah ada. Objektivitas dalam jurnalisme adalah nonsense. Jurnalisme dan jurnalis mana pun akan selalu subjektif. Tetapi subjektivitas yang ditolerir adalah subjektivitas yang jujur, yang fair. Subjektivitas yang fair itulah sebetulnya yang dianggap sebagai objektivitas selama ini. Dengan cara apa kejujuran dapat dipertahankan? Dengan cara membiarkan fakta yang berbicara.
Ketika judul dan kalimat berita mengatakan bahwa Komjen Budi Waseso dicopot sebagai Kabareskrim, bahasa yang terasa bukanlah sekadar bahasa yang ekspresif buat membantu audience memahami isi berita dengan segera. Di situ terbaca makna konotatif. “Copot” dan “dicopot” menyandang makna negatif. Kesucian fakta sudah diolesi warna. Hal itu tidak terjadi pada uraian yang bercerita tentang Komjen Anang Iskandar. Tak pernah ada pernyataan yang mengatakan Anang Iskandar dicopot sebagai Kepala BNN.
Saya termasuk rakyat yang prihatin melihat kasus yang dijeratkan pada pimpinan serta penyidik KPK, dan suka mendengar kabar adanya pergantian Kabareskrim. Tetapi kalau saya menulis hard news (bukan news feature, bukan interpretative news) dan judulnya, saya harus membebaskan diri dari perasaan suka atau tak suka, dan tidak akan memakai kata “dicopot”. Dengan mengatakan bahwa Budi Waseso diangkat menjadi Kepala BNN dan Anang Iskandar menjadi Kabaresrim, saya membiarkan fakta sebagai sesuatu yang suci, dan menyerahkan fakta itu kepada khalayak yang bebas berkomentar.
Jurnalisme adalah catatan harian sejarah. Fakta yang terkandung di dalam teks sejarah sebaiknya tidak diolesi “warna” ...
*Tulisan ini sebelumnya muncul sebagai note di akun facebook penulis.
Tambah komentar baru