Teman

Menjadi Teman yang Baik

“Nampaknya kamu masih menyimpan amarah terhadapku. Katakan saja, jangan disimpan dalam hati”. Itu kalimat terakhir dari seorang sahabat yang telah kenal saya sejak 25 tahun yang lalu, sebelum telepon ditutup. Saya terhenyak karena memang betul saat itu sedang kesal sampai ke ubun-ubun, ada rasa marah padanya karena sesuatu hal. Sadar bahwa tidak pantas untuk marah dan mencak-mencak secara frontal, saya berusaha untuk menekan semuanya dalam hati dan berusaha bersikap seolah-olah semuanya baik dan tidak ada apa-apa antara kami berdua. Ternyata, bahasa tubuh tidak dapat diajak kompromi. Nada suara dan pilihan kata-kata yang keluar dari mulut saya, ternyata mampu menyiratkan emosi yang sedang dirasakan. Dan hanya orang yang sudah kenal saya sampai ke tulang sumsum, yang dapat menangkap emosi itu, bahkan dari seberang pulau sana. Itulah sahabat.

Teman saya tidak banyak tapi saya cukup beruntung memiliki sahabat-sahabat yang dekat di hati (meskipun semua jauh di mata) dan tulus menyediakan bahu untuk menyandarkan kepala atau merelakan jam tidur malamnya terpotong hanya untuk berbalas chatting, mendengarkan keluh kesah saya. Dan yang saya butuhkan hanya didengarkan dan sekedar kata ‘sabar ya, kamu harus kuat’. Hanya itu… dan hati langsung plong.

Persabatan pertama saya terjalin ketika lulus SD dan hingga kini masih ‘on’ dan semakin matang dengan adanya ‘proyek aktualisasi obsesi’ yang kami kerjakan bersama dan menjadi wadah untuk tetap saling kontak. Di SMP, SMA dan seterusnya selalu ada teman-teman yang lekat di hati dan akhirnya menjadi sahabat hingga kini. Meskipun ada yang putus kontak hingga belasan tahun karena jarak dan tugas mengurus keluarga, ternyata chemistry tidak hilang begitu saja. Ketika ada kesempatan saling kontak lagi, waktu dan jarak sudah tidak menjadi penghalang (terima kasih untuk kemajuan teknologi) dan langsung klik satu sama lain. Hampir di setiap komunitas di mana saya terlibat, ada satu atau dua orang yang menjadi sahabat, lebih dari sekedar kenalan atau teman biasa. Persahabatan itu terus berkembang dan semakin matang seiring bertambahnya usia. Aset yang tidak ternilai dengan materi.

Persahabatan diawali dari orang yang baru kita kenal dan berkembang dengan adanya interaksi antar individu. Hubungan interpersonal dalam konteks sosial dan budaya bervariasi dari keluarga, temannya teman, pernikahan, teman di tempat kerja, tetangga, teman dalam kelompok rohani, pekerja sosial dan lain sebagainya. Hubungan antar individu bersifat dinamis, dapat berubah selama interaksi berlangsung dan memiliki awal, jangka hidup (lifespan) dan akhir.

Psikolog George Levinger, mengajukan teori yang cukup populer tentang hubungan interpersonal, menyebutkan lima tahap dalam perkembangan suatu hubungan:

1. Berkenalan

Perkenalan dengan orang baru dipengaruhi oleh kedekatan fisik, kesan pertama, daya tarik dan faktor lainnya. Jika kedua individu merasa cocok, hubungan akan lanjut ke tahap berikutnya.

2. Membangun hubungan

Pada masa ini mulai ada rasa pecaya (trust) dan perhatian satu sama lain. Ada kebutuhan untuk mengenal lebih jauh dengan saling bertukar informasi tentang latar belakang, visi dan pola pikir.

3. Kelanjutan hubungan

Tahap ini diikuti oleh adanya komitmen untuk mempertahankan hubungan agar bisa bertahan lama menjadi persahabatan, hubungan romantik atau pernikahan. Biasanya masa ini panjang dan relatif stabil. Yang paling penting dipupuk terus adalah rasa saling percaya satu sama lain.

4. Keretakan hubungan

Tidak semua hubungan berlangsung mulus dan aman untuk diteruskan. Jika mulai timbul rasa bosan, tersinggung, ataupun ketidakpuasan, kedua individu cenderung untuk mengurangi intensitas komunikasi dan mengurangi kedekatan baik fisik ataupun psikis. Rasa percaya bisa saja hilang karena suatu masalah yang tidak dikomunikasikan secara terbuka sehingga timbul prasangka dan rasa curiga satu sama lain.

5. Akhir hubungan

Tahap final ini menandakan berakhirnya hubungan, karena cekcok, kematian atau jarak /tempat keberadaan.

Persahabatan jangka panjang terjalin dari tahap pertama sampai tahap ketiga dan dipertahankan terus dengan intensitas komunikasi yang terjaga kualitasnya dan adanya keterbukaan antar individu. Jadi selama ada keterbukaan, masalah apapun ang timbul dapat dibicarakan bersama dengan hati dan kepala dingin untuk menghindari salah paham dan prasangka.

Intensitas komunikasi memberikan banyak masukan untuk kita dalam mengenal seseorang dan memampukan kita untuk mengantisipasi apa yang akan dilakukan orang tersebut jika ada suatu masalah. Tanpa diutarakan secara verbal dan langsung, kita dapat menebak makna yang tersirat dari sikap dan bahasa tubuhnya. Seperti kata seorang sahabat saya ketika melihat salah satu profile picture yang saya pajang di Blackberry: “Aku bisa menangkap kesedihan dalam sorot matamu meskipun kamu tersenyum lebar di foto itu”. Setelah saya perhatikan dengan seksama, betul sekali. Pandangan mata itu kosong dan tidak ada binarnya meskipun senyum manis tersungging di bibir saya. Masa-masa itu memang kondisi saya sedang terpuruk dan ada saat dimana saya sempat menarik diri dari pergaulan.

Saya tidak akan pernah lupa siapa saja yang ada di sekeliling saya ketika berusaha untuk tegar dan kepala tetap tegak menghadapi konsekuensi dari suatu keputusan besar yang (terpaksa) harus saya ambil beberapa tahun yang lalu. Ada yang setiap hari dengan telaten menyapa via bbm dan telepon di sela jadwal kerjanya yang sibuk, hanya untuk memastikan bahwa kondisi saya baik dan tidak gamang. Sahabat yang lain berulang kali mengatakan: “Kapan saja kamu ingin curhat, butuh bantuan apapun, beritahu aku ya. Anytime.” Dan saya tahu itu bukan sekedar asbun (asal bunyi) atau basa-basi karena mereka benar-benar stand by dan dengan sabar menemani saya.

Mengapa saya begitu mengidolakan sahabat? Bagaimana tidak, karena ketika berada di titik paling rendah dalam hidup, hangatnya persahabatan menyelimuti saya. Inilah yang saya dapatkan dari sahabat-sahabat itu:

– Kenyamanan berkomunikasi karena ada rasa saling percaya dan keterikatan (attachment).

– Berani mengkritik dengan tegas sikap dan kelakuan saya yang kurang tepat, tanpa maksud menjatuhkan dan saya tidak merasa tersinggung atau marah sama sekali.

– Mendengarkan dengan sabar segala bentuk uneg-uneg, yang mungkin membosankan

– Mampu membaca bahasa tubuh dan menangkap semua hal yang tersirat dari setiap kata dan sikap

– Membantu saya berpikir dengan tenang tanpa diinterupsi dengan judgement yang memojokkan

– Meredakan emosi yang meluap

– Meyakinkan saya bahwa mereka akan selalu mendampingi . Saya tidak akan kesepian. Keyakinan ini membuat saya merasa aman dan rasa gamang sirna.

Ada satu posting yang cukup menyentuh di laman facebook teman saya, L. Kristiani :

Pernah di suatu hari belasan tahun yang lalu, aku memegang telpon, bunyi dengungnya sudah lama terdengar, tapi aku tak bisa memikirkan satu orang pun yg bisa kutelepon saat itu. Itu adalah saat yang paling sunyi… Aku lalu berjanji pada diriku sendiri, aku tak akan membiarkan seorang sahabatku merasa dia tak bisa bicara denganku ketika dia ingin didengarkan.

Membaca postingan ini membuat saya terharu karena rasa sunyi itu belum pernah saya alami. Selalu ada sahabat yang siap sedia mendengarkan dan menghangatkan hati meskipun mereka secara fisik jauh dari saya. Yang kami butuhkan hanya satu dering telepon atau deretan chats.

Catatan: Tulisan ini pertama muncul di blog lama Patahtumbuh pada tanggal 17 Januari 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *