Vienna, Austria
Kami sepakat untuk sedikit bersantai di kota ini, sesuai dengan konsep kotanya. Toko-toko di sini tutup jam lima sore, transportasi umum seperti bus atau tram juga jarang terlihat. Kami pergi ke nachtmarkt (pasar malam) yang terkenal. Toko-toko sepanjang jalan menjual aneka manisan, rempah-rempah, sayuran, buah, dan tentu saja makanan. Kami mencoba mencari makanan lokal, tetapi hampir 90% adalah makanan Turki. Sepertinya banyak orang Turki yang hijrah ke Vienna. Begitu ramainya pasar ini, orang yang lalu lalang berdesakan sulit untuk bergerak.
Setelah makan siang di restoran seafood kami berjalan ke State Opera House. Rencana awal adalah naik bus ho-ho (hop on and hop off), tetapi ternyata ada yang menawarkan tiket opera. Malam ini pertunjukan oleh Richard Strauss. Akh, boleh juga. €35 per tiket.
Sebenarnya kami awam soal opera. Tetapi Vienna memang terkenal dengan opera. So, why not? Lagi pula kami memang tidak punya agenda lain. Opera dimulai jam 19.00 malam. Sambil menunggu, kami minum kopi ditemani chocolate torte dan apple strudel di luar cafe, menyaksikan orang lalu lalang dengan pakaian keren dan tas bermerk. Umumnya mereka berbahasa Jerman. Karena akan hujan, kami diminta pindah ke dalam tapi kami sudah bosan dan waktu pertunjukan juga sudah dekat. Setelah menghabiskan sisa white wine, kami meninggalkan cafe menuju gedung opera.
Wien State Opera House termasuk salah satu gedung pertunjukan yang ada di Vienna. Di depan gedung banyak orang berpakaian zaman pertengahan menawarkan tiket pertunjukan. Gedung dibuka jam 6 sore, merupakan sebuah aula oval berlantai lima dengan pentas di salah satu ujungnya.
Kursi VIP ada di level 1 dan 2 menghadap ke panggung. Ada juga standing ticket, nonton sambil berdiri. Selebihnya berupa kamar balkon dengan masing-masing lima tempat duduk. Baris pertama 3 tempat duduk, baris kedua 2 tempat duduk. Sebenarnya ada satu lagi baris belakang dengan satu tempat duduk yang tidak mungkin bisa melihat apa-apa lagi. Kami duduk di baris kedua sambil berharap tidak ada orang di barisan depan. Perkiraan kami, gedung sebesar ini tak mungkin penuh. Tapi lagi-lagi kami salah, gedung yang bisa memuat 1000 penonton ini ternyata terisi penuh ! Selama 2 jam dengan sekali break 15 menit, kami disuguhi cerita tentang perjuangan seorang penyanyi opera. Terjemahan cerita bisa dilihat dari layar kecil di samping tempat duduk. Sepanjang pertunjukan kami boleh saja berdiri karena memang disediakan pijakan di kaki kursi. Tapi kasihan orang di belakang yang sama sekali tidak bisa melihat apa-apa lagi, sehingga mungkin saja dia menyerah, dan memejamkan mata.
Karena hujan, kami pulang naik taksi yang banyak standby di depan gedung opera. Malam itu, kami merasa seperti sosialita Wiener di akhir pekan.
Venezia, Itali
Begitu melangkah keluar dari stasiun kereta, saya langsung terpesona. Venezia tampak berkilauan diterpa sinar matahari yang dipantulkan permukaan air. Setelah perjalanan malam 11,5 jam dengan kereta dari Vienna dengan tempat tidur yang keras, kami menghirup udara pagi Venezia dengan senyum lebar. Kami membeli tiket bus air Actv no. 1 ke Rialto, stasiun terdekat dari tempat kami menginap. Ingat untuk selalu validasi tiket sebelum naik, jika tidak, bisa didenda per orang €50!
Ada beberapa jurusan dengan no bus (kapal) masing-masing. Sama seperti underground atau MRT, kita harus perhatikan rute yang dilalui di peta yang tertera di depan pintu masuk. Ada dua kamar di terminal, satu untuk ketibaan, satu adalah ruang tunggu untuk keberangkatan. Kita harus menunggu semua turun dulu baru boleh naik. Bila terminalnya tidak ada jual tiket, bisa beli pada petugas pemeriksa tiket. Harga tiket jauh dekat sama, €7 sekali jalan.
Tidak ada yang tidak tersesat di Venezia, itu yang saya baca. Bagaimana tidak, semua terlihat sama. Gang-gang sempit, bangunan tua, jembatan, gang lagi. Seperti masuk labyrinth. Nama jalan ada di mulut gang, disablon di dinding gedung. Hampir dua jam kami tersesat, tanpa menyadari kami berjalan semakin menjauhi lokasi penginapan. Google map tidak kenal jalan di Venezia. Akhirnya kami di sms petunjuk untuk menuju ke penginapan yang ternyata hanya 10 menit dari Rialto tempat kami turun tadi. Tenaga terkuras, keringatan,dan kelaparan.
Untunglah tidak sulit cari makanan. Toko pizza, gelato, pasta bertebaran di antara toko souvenir di gang-gang sempit. Setiap kali berjalan harus berbagi langkah dengan turis yang tumpah ruah. Turis dari Eropa, Amerika, Korea, Jepang, Cina, semua ada. Suasana bagai di menara Babel, ketika Tuhan memecahkan manusia dengan ragam bahasa.
Kami makan pizza sambil jalan. Di Itali, ada standing meals dan sitting meals. Makan yang sambil duduk pasti lebih mahal. Minuman nasionalnya adalah spritz, campuran antara anggur putih, sparkling water dan orange berwarna merah. Rasanya agak getir tapi segar. Efeknya seperti minum alkohol.
Berkeliling dengan gondola? Perlu dicoba. €80 untuk tour 30 menit atau €2 untuk sekali penyeberangan ke tetangga depan. Ya, Venezia termasuk kota mahal. Tidak ada mobil ataupun sepeda motor di sini. Hanya ada kapal, taksi air (speed boat), dan gondola. Sekali kami mendengar raungan sirene yang ternyata ferry ambulans meraung-raung di kanal minta jalan.
Sinar matahari yang hangat, langit yang biru cerah, bangunan tua nan artistik, air kanal yang kehijauan; suara abang gondola yang menyanyikan potongan lagu atau memanggil temannya meninggalkan gema yang seolah datang dari abad 15. Ketika senja tiba, setelah turis-turis pulang ke penginapan masing-masing karena kelelahan, pergilah ke St. Mark’s (San Marco) square. Sayup-sayup live music terdengar diselingi dentangan lonceng dari bell tower yang sudah menyatu dengan Venezia. Anak-anak tertawa gembira berlarian mengejar merpati, penjual bunga dan mainan pulang dengan langkah gontai.
Keesokan paginya, sebelum meninggalkan Venezia, kami ke Rialto Market yang berada di top list to do in Venice. Pasar ikan yang sudah ratusan tahun sejarahnya, dimana para nelayan menjual hasil tangkapannya bersama dengan tukang sayur dan tukang buah mulai jam 6 pagi sampai jam 1 siang. Kalau sudah cocok apa yang diinginkan, mereka akan membungkusnya untuk kita. Jangan pernah menyentuh barang dagangan mereka, apalagi memijit-mijit buah-buahan seperti yang ibu kita sering lakukan di pasar Indonesia.
Milan, Itali– kota fashion
Apa yang tidak dimiliki Milan? Designer terkenal, seniman dunia, klub sepak bola, bangunan gereja yang indah, semua ada di Milan. Bukan hanya yang positif, yang negatif juga. Yang paling mencolok begitu kami tiba adalah bau pesing dimana-mana.
Kali ini kami tinggal di hotel, karena host membatalkan pesanan kamar sebab ada acara keluarga. Sepanjang perjalanan keliling Eropa ini kami seperti bermain Amazing Race. Kami memesan kamar melalui situs airbnb. Kamar bisa merupakan bagian dari rumah host atau apartemen kosong. Setelah ada kesepakatan, host akan memberikan petunjuk untuk mencapai rumahnya, naik bus apa, letak kunci, nomer kode pintu (jika pintu dibuka dengan kode nomor) dan seterusnya. Kadang kami bertemu dengan host, tapi bisa juga sama sekali tidak pernah ketemu. Tinggal di hotel setelah beberapa lama tinggal di apartment ada asiknya juga, minimal sarapan tersedia untuk dua hari.
Saya teringat pasta di Venezia, rasanya belum pernah makan pasta seenak itu, jadi saya memutuskan untuk hanya makan pasta selama di Milan, tapi agak kecewa sesudahnya.
Satu hal yang berkesan, semua orang di Milan, tua muda, pria atau wanita, keren-keren semuanya. Bahkan di avenue shopping di samping Cathedral Duomo kami bisa melihat model berpose untuk difoto.
Dari gondola di Venezia, beralih ke bus ho ho di Milan, €26 untuk 72 jam alias 3 hari!
Ada 3 line, Line A, B dan C. Kami putuskan untuk menjalani semua line sebelum berhenti di tempat yang kami inginkan.
Kota Milan sungguh indah dan lengkap. Dihiasi oleh ukiran seniman terkenal seperti Michelangelo, dipenuhi designer ternama seperti Dolce & Gabbana. Siapa tidak pernah mendengar nama klub sepak bola bergengsi AC Milan, atau Inter Milan. Melewati stadion sepak bola San Siro, saya membayangkan pertandingan-pertandingan yang berlangsung di sana yang membuat para pecinta sepakbola bergadang semalaman sambil minum kopi. Ditambah lagi dengan sinar matahari yang cerah. Italy adalah negara terhangat selama kunjungan kami di Eropa kali ini.
Kami dengar dari salah satu pelayan berkebangsaan Srilanka bahwa kerja di Itali tidak perlu visa. Pantas kami melihat banyak orang India, Bangladesh maupun Srilanka yang kebanyakan bekerja sebagai pelayan atau pembersih di hotel atau restoran.
Kami mengunjungi Cathedral Duomo, katedral kedua terbesar sesudah Vatican. Dengan ratusan patung dan ukiran, bagi saya inilah Cathedral terindah yang pernah saya lihat. Tidak perlu membayar tiket masuk, tapi kita bisa membeli lilin untuk dinyalakan. Saya juga mengambil kesempatan untuk berdoa di dalamnya.
Leave a Reply