Bonjour, Paris!
Setelah perjalanan dengan kereta selama hampir 7 jam, kami tiba di Paris. Saya kaget melihat begitu banyaknya manusia di stasiun – berhimpitan. Untuk keluar dari stasiun saja memerlukan perjuangan tersendiri. Karena tergesa-gesa, kami tidak melihat petunjuk bahwa untuk masuk gerbang metro ada pass khusus untuk bagasi. Jadi kami melewati pintu itu bersama dengan koper, akibatnya Karin kejepit setengah badannya. Saya masukkan tiket saya untuk menolongnya, tapi kemudian saya juga kejepit. Orang di belakang saya memasukkan tiketnya dan akibatnya dia tidak dapat lewat. Kami terlalu kaget sehingga tidak terpikir untuk membayarnya. Seorang laki-laki di belakangnya menanyakan apa yang terjadi, tapi setelah mendengar pengaduannya laki-laki itu hanya berlalu. Oh, Paris! Sepertinya tidak ada yang peduli. Kami sangat menyesal lupa membayarnya tadi.
Di Paris, hawa dingin menusuk, jalanan basah karena hujan. Kami memutuskan makan sushi di dekat tempat kami menginap, kemudian pulang istirahat karena terlalu dingin dan sudah jam 8 malam walaupun langit masih terang.
Keesokan paginya, mendung dan dingin sepanjang perjalanan ke Deauville. Ternyata orang Paris cukup ramah dan membantu. Aksen mereka waktu berbicara juga terdengar indah sekali. Beberapa kali semalam kami dibantu karena kesulitan dengan pintu rumah, kemudian di Normandy Deauville, mereka juga dengan senang hati menerangkan arah ketika kami bertanya.
Deauville adalah sebuah resort pantai untuk orang kaya Eropa. Terlihat anak-anak berkuda, dan banyak yacht parkir di sepanjang bibir pantai. Normandy terbagi menjadi dua kota dengan stasiun kereta di tengahnya. Sebelah kiri adalah Trouville, sebelah kanannya Deauville.
Toko tutup jam 1 – 3 sore, bahkan ada yang baru buka jam 4 sore. Di sini memang tempatnya untuk bersantai, makan seafood, dan minum wine. Shopping di toko-toko branded names (Coco Chanel membuka butik pertamanya di Deauville), berlayar dengan yacht pribadi, dan mengadu nasib di casino. Kalau bukan karena untuk menjumpai seorang kenalan, kami juga pasti tidak akan ke Deauville.
Luxembourg – Small but Great.
Karena salah melihat waktu, harusnya 13.40 tapi entah kenapa yang diingat 13.50, kami jadi ketinggalan kereta. Untunglah tiket kami boleh diganti untuk kereta berikut tanpa perlu membayar lagi.
Luxembourg sangat kecil. Tidak ada luggage storage (tempat penitipan koper) di stasiun kereta. Sudah lelah bermain Amazing Race, kami naik taksi ke rumah kost, melewati pemandangan yang luar biasa indahnya. Mirip Edinburgh di Inggris atau Istanbul di Turki. Kontur tanahnya naik turun berbukit-bukit. Luxembourg cantik sekali. Penduduknya juga anggun, rapi, dan bersih. Bahkan bangunan tua yang berdampingan dengan bangunan modern tampak hamonis.
Rumah kost kami terletak di daerah rumah pemukiman. Rumah-rumahnya cukup besar bahkan ada yang besar sekali dengan pohon-pohon, taman bunga, dan juga air mancur. Kotanya sepi dan tenang. Apalagi kami tiba di hari minggu, saat orang-orang beristirahat di rumah.
Disebut sebagai ibukota teraman di dunia, sepertinya tidak perlu diragukan. Luxembourg juga dikatakan adalah paru-paru Eropa, dimana-mana bisa dijumpai taman dengan banyak pohon. Bahkan di belakang kost kami sepertinya ada hutan, suara burung-burung berkicau terdengar masuk dari jendela. Kalau saya dilahirkan di Eropa, saya ingin melewatkan masa tua di Luxembourg, shopping di Paris, berjemur di Venezia, bekerja di Jerman, dan pacaran di Amsterdam.
Kami naik bus ho ho selama 1 jam, €14 per orang dan dilanjutkan dengan train Petrusse menyusuri dinding kota dan benteng perang zaman dulu. Penduduk Luxembourg berbicara dalam empat bahasa, bahasa Luxembourg yang mirip bahasa Prancis, bahasa Prancis, Jerman dan Inggris.
Brussels, Belgia
Brussels tidak seindah yang saya bayangkan. Mungkin karena ini sudah akhir perjalanan atau karena dibandingkan dengan Luxembourg. Kota ini agak kotor, penduduknya juga tidak begitu taat lalu lintas. Di sini pertama kali saya mendengar orang membunyikan klakson selama hampir sebulan di Eropa, dan yang diklakson itu… tram!
Turis banyak berkumpul di Grand Place Grote Markt, sebuah lapangan dengan bangunan katedral abad 16 yang tentu saja indah, tapi setelah berkeliling sebulan, kelihatan hampir sama semuanya. Di sudut jalan ada patung Manekin Pis. Saya tak mengerti entah apa yang menarik dari patung anak kecil yang sedang pipis ini sehingga semua wisatawan seperti terpaku dan terus-terus membahasnya. Terutama wisatawan dari Cina, kalau dibiarkan terus sepertinya bakal hilang si Manekin Pis dibawa pulang. Gantian dong tan… kita orang kan pengen berfoto juga…
Satu lagi yang menarik adalah waffle yang bisa dipilih toppingnya. Wafflenya sih hanya €1 tapi untuk topping harus tambah €2 – 3 tergantung topping yang kita pilih. Cukup mahal tapi laris sekali.
Kegiatan lain adalah memanjatkan harapan atau doa dengan mengelus miniatur patung Everard’t Serclaes di Town Hall. Beliau adalah pahlawan yang berhasil mempertahankan kota pada abad 14, konon katanya dengan mengelusnya, terutama lengan dan hidung anjingnya, maka doa kita akan dikabulkan. Percaya atau tidak, banyak orang yang mengelusnya, termasuk kami.
Negara ini juga adalah negara kelahiran Tintin, tokoh wartawan fiksi yang selalu ditemani anjingnya, Snowy. Bahkan ada toko yang menjual semua buku komik Tintin yang pernah terbit, mulai dari zaman dulu sampai sekarang.
Brussels adalah ibukota Uni Eropa dan banyak anggota parlemen yang berkantor di sini. Seperti yang sering kita baca atau dengar di media, “Brussels telah memutuskan….” di kota ini, banyak keputusan besar yang menyangkut kepentingan dunia dibuat karena rapat komite selalu dilaksanakan di Brussels.
Demikianlah, Brussels yang katanya kota global terkecil di Eropa, di mana sebagian penduduknya berasal dari negara Eropa lain, dan sebagian lagi dari berbagai negara di luar Eropa, termasuk dari Arab dan Turki. Transportasi umum adalah tram dan bus, €2,1 sekali jalan, tiket divalidasi di atas tram atau ditunjukkan kepada supir bus tiap kali naik.
Kami mengakhiri perjalanan di Brussels dengan nonton film berjudul Night Move. €15 euro untuk berdua. Bioskopnya sangat sederhana, tidak ada Dolby Stereo, dan penontonnya… tidak sampai 10 orang.
Akhir perjalanan
Setelah perjalanan panjang selama 3 minggu, kami akhirnya kembali ke Bournemouth. Saya sungguh bersyukur, selama perjalanan kami sering bertemu orang-orang baik yang dengan senang hati menunjukkan arah, mengantar kami dengan mobil mencari alamat, membantu mengangkat koper dan bantuan lainnya. Bukan berarti perjalanan kami selalu mulus, salah menghitung tanggal dan mengingat jadwal mengakibatkan kerepotan walau akhirnya bisa teratasi dengan baik. Kereta tidak pernah menunggu dan kadang-kadang harus rebutan tempat menyimpan koper. Trik kami adalah tiba satu jam lebih awal di stasiun, menghafal nomor gerbong dan tempat duduk sebelum naik, lima menit sebelum kereta sampai sudah standby di pintu keluar berikut koper.
Kesulitan membuat kita belajar. Karena kewalahan dengan koper besar yang kami bawa, akhirnya koper besar kami titip di locker stasiun, dengan harga yang bervariasi. Hampir semua stasiun ada tempat penitipan, kecuali Luxembourg. Caranya juga sangat mudah, dan ada pelbagai ukuran laci.
Hanya waktu di Vienna locker kami tidak bisa dibuka. Karena gelisah, menunggu petugas datang seperti setahun lamanya. Yang lebih mengagetkan, ketika dibuka, koper kami tidak ada! Ternyata karena sudah lewat dari 24 jam mereka memindahkannya.
Locker paling mahal ada di Venezia, sistemnya manual seperti di airport. Kami bayar 36 euro untuk 2 koper lebih dari 24 jam.
Kami hampir kehabisan akal ketika naik overnight train dari Vienna ke Venezia. Untuk manusia saja gerbongnya sudah pas-pasan, satu gerbong berisi enam dipan yang sebelumnya adalah tempat duduk. Gerbong kami kebetulan penuh oleh tiga pasang ibu – anak dari Itali, Prancis dan Indonesia. Tidak hanya itu, kami semua ditemani oleh koper yang besar-besar. Untung akhirnya kami dipinjamkan satu gerbong kosong khusus untuk koper.
Kami pernah juga harus berdiri selama 2 jam karena tidak memesan tempat duduk dari Budapest ke Vienna. Akhirnya kami duduk di tangga pintu bersama dengan beberapa penumpang lain yang bernasib sama. Ternyata rute kereta ini bebas naik kapan saja tapi perlu tambahan biaya untuk tempat duduk. Beda sekali dari Orient Express yang kebetulan sedang parkir ketika kami tiba di Venezia. Keretanya saja sudah cantik, di dalam gerbongnya ada lampu meja, dan pintunya terbuat dari kayu. Penumpangnya juga memakai stelan jas dan gaun, persis seperti cerita yang ada di novel Agatha Christie.
Bukan berarti tidak ada perjalanan yang asik dengan kereta. Perjalanan terakhir dari Luxembourg ke Brussels benar-benar nyaman. Penumpang tidak banyak dan keretanya dua tingkat. Kami bebas memilih tempat duduk.
Bagi saya perjalanan dengan kereta jauh lebih menyenangkan daripada naik pesawat, karena bisa menikmati pemandangan yang indah dari satu kota ke kota lainnya, dari perbatasan ke perbatasan berikutnya.
Naik bus atau tram lain lagi ceritanya. Di Amsterdam tiket dibeli di atas tram. Di Milan kami naik bus ho ho. Di Berlin, tiket satu hari bisa dipakai untuk kereta, bus maupun tram. Nah, di Prague, Vienna, Budapest, Luxembourg maupun Brussels kami jarang beli tiket alias numpang gratis. Tidak ada yang peduli dan tidak ada yang periksa tiket. Jadi kami hanya sekali beli tiket waktu tiba dan itu berlaku sampai kami pulang. Di Venezia tergantung keadaan. Kalau hanya 1 atau 2 stasiun, bisa numpang gratis. Setidaknya, itulah yang kami pikir, karena di awal perjalanan, kami melihat karcis tidak diperiksa. Setelah tiba kembali di rumah dan saya bercerita kepada suami enaknya jalan-jalan dengan transpor gratis, barulah saya diberitahu bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini. Mereka memang tidak selalu memeriksa, tapi kalau lagi sial, diperiksa dan ternyata tidak membayar (dalam hal ini ‘validasi’ kartu, tergantung kartu apa yang kita beli, misalnya, ‘menggesekkan’ kartu di mesin sebelum masuk kereta…), maka kita akan didenda mahal. Waduh! Jadi jangan coba ya! Bayangkan kalau kami tertangkap basah, kan jadi merusak nama baik Indonesia saja.
Cuaca menjadi tantangan tersendiri, di Amsterdam, Berlin dan Paris; anginnya menyayat sampai ke tulang. Salah kostum juga sering terjadi. Berpikir akan panas ternyata dingin, bersiap dengan baju tebal ternyata panas.
Kami mencoba makanan yang bervariasi. Rencananya untuk setiap tempat kami akan menikmati paling sedikit satu kali makanan ala restoran. Saat lainnya boleh makan fast food.
Di Berlin kami makan di pub Newsman di sebelah rumah kost. Sepertinya restoran ini cukup terkenal dan penuh. Di Prague yang berkesan adalah kaki babi panggang dan goulash. Kaki babinya murah dan namun elegan, dengan penyajian yang sangat istimewa. Seperti grill mini tapi tidak ada api lagi dan dibawahnya ada papan untuk kita memotong dan mengiris daging. Disajikan dengan anggun oleh pelayannya dan seluruh mata di restaurant itu mengikuti kaki babinya sampai di meja kami. Wow, sesuatu banget…
Kami makan oyster mentah dan seafood di Vienna, tidak terlalu istimewa kecuali oysternya yang benar-benar segar. Di Budapest kami mencoba makanan tradisional Hungaria lengkap, mulai dari hidangan pembuka sampai hidangan cuci mulut. Harga sesuai dan goulashnya luar biasa enak. Berikutnya adalah pasta terenak yang pernah saya makan di Grand Canal Venezia. Tapi ada yang kurang..… kurang banyak. Sejak itu tidak pernah lagi saya rasakan pasta yang enak itu bahkan di Milan, sudah harganya lebih mahal, tidak istimewa lagi.
Di Paris kami makan sushi, harganya lebih kurang sama seperti di Indonesia tapi panggangannya enak. Di Deauville, musselnya benar-benar membuat sakit hati. Ada yang lucu di Luxembourg, beberapa kali kami melihat Dak Gi Bo, toko makanan Korea, tapi entah kenapa selalu tidak jadi makan di sana. Terakhir kami malah makan shabu-shabu di “all you can eat”, €13 per orang, lumayan murah, hanya saja kurang banyak pilihan daging. Terakhir di Brussels kami menyerah dan masuk ke Hard Rock Cafe.
Dua tahun yang lalu, ketika kami travel ke Eropa, saya diperkenalkan kepada BnB oleh Karin. “Bed n Breakfast” adalah penginapan ala kost di mancanegara. Kita tinggal di rumah penduduk setempat, bisa masak, ada yang tinggal bersama hostnya ada juga yang tidak. Sejak itu saya suka memilih bnb daripada hostel karena lebih aman dan bersih. Tapi tidak semua alamat mudah ditemukan, dan tidak semua kamar sesuai harapan. (Untuk mencoba bnb, anda boleh ke website airbnb.com). Bagi yang ingin mencari pendapatan sampingan, bila rumah anda cukup luas dan berlokasi di daerah wisata, boleh juga jadi anggota airbnb untuk menawarkan rumah anda jadi tempat nginap turis.
– Bnb kami di Amsterdam “luarbinasa”. Kamar yang disewakan lebih tepat disebut gudang daripada kamar. Selain itu kamar mandinya juga bau.
– Di Berlin, kamarnya kecil tapi kami punya kamar mandi sendiri dengan bathtub. Jadi seperti membeli lotere, kadang beruntung kadang puntung. Apalagi kalau kamarnya ada di lantai 2 atau 3 dan tidak ada lift!
– Di Vienna, awalnya saya agak takut dengan host kami. Wanita ini kelihatannya agak depresi tapi pada akhirnya saya menjadi malu dan menyalahkan diri sendiri. Ternyata dia seorang single parent dengan anak laki-laki berumur 2 tahun. Pada hari terakhir kami sempat bertemu sebentar, dia meminta maaf untuk anaknya yang agak ribut. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya membesarkan anak sendirian, melewati hari demi hari.
– Di Prague, host kami mengelola apartemennya dengan profesional. Dia memiliki beberapa unit dan bahkan staff dari Amerika. Tempatnya juga paling mudah ditemukan dengan petunjuk yang sangat jelas.
– Kost kami di Budapest paling aneh. Dari awal sudah salah nomor bangunan, nomor telepon juga salah, petunjuk tidak jelas. Dan hostnya terlalu nyentrik. Kami memang diberikan satu ruangan sendiri tempat dia mengajar tari Jawa, dengan kamar mandi sendiri. Kamar tidur ada di loteng dengan dinding gedek. Rumah penuh dengan barang yang tidak jelas kegunaannya, bahkan kamar seperti ruang penyembahan penuh dengan patung dan gambar-gambar agama tertentu. Kesannya tentu saja menyeramkan. Kamar mandinya begitu berantakan dan penuh sesak dengan barang.
– Kami hampir menyerah mencari tempat kost kami di Venezia. Akses di dalam gedung juga menyeramkan dengan dua kursi kayu kuno di mulut tangga, persis seperti yang sering kita lihat di film hantu. Tangganya banyak dan dingin, walau di dalam apartment hangat dan penuh informasi, kebetulan tidak ada tamu lain jadi apartment itu menjadi milik kami sepenuhnya. Tapi kesan pada waktu masuk tetap saja menyeramkan dengan pintu kayu yang berat dan kadang gampang dibuka kadang tidak bisa dibuka.
Sepulang dari Eropa kali ini, saya mulai berpikir untuk selanjutnya akan memilih hotel saja daripada bnb. Harganya tidak sangat murah apalagi yang di Paris. Hanya sepetak kecil, ruang makan, dapur, kamar mandi, semua dalam satu ruangan. Tempat tidur di atas kamar mandi. Beda dengan hotel, kami harus merapikan tempat itu sebelum ditinggalkan. Kalau penghuni sesudah kami mendapati tempatnya kotor, kami akan di denda €40. Hebatkan? Kami tidak pernah ketemu hostnya. Semua berdasar petunjuk. Kode pintu, letak kunci, handuk bekas harus diletakkan di mana, dan sederet peraturan lain serta denda, semua tertulis dan tertempel di dinding.
– Bnb kami yang paling bagus adalah yang di Luxembourg, benar-benar rumah dan berada di tempat pemukiman. Kamar kami besar, lengkap dengan bathroom, tapi tanpa toilet. Jadi kalau mau buang air besar, harus ke bawah. Hostnya adalah keluarga muda dengan satu bayi. Area tempat tinggalnya bagus dengan rumah tetangga yang besar dan asri. Di belakang rumah ada hutan sehingga selalu terdengar kicauan burung. Bedsheetnya wangi, namun anjingnya cukup mengganggu. Selalu mengincar makanan kami sampai ke kamar.
– Pemegang rekor adalah Brussels. Daerah pemukimannya agak kumuh dan banyak orang Arab. Awalnya kami sangat gembira, karena ada supermarket Lidl di sebelah. Apartemennya juga unik (bekas pabrik sabun). Sebelahnya menjadi tempat perkantoran. Akses pintu memakai kode nomor dengan lift yang berhenti persis di depan pintu apartemen seperti yang sering saya inginkan untuk apartemen saya. Pemiliknya adalah seorang seniman dengan dua ekor kucing dan seekor anjing (kedengaran tidak menyenangkan). Ada 20-an burung peliharaan di apartemen dengan banyak jendela dan ruang terbuka. Teras di atas dibuat seperti di Nepal dengan bendera warna warni berikut tenda untuk camping (Hari terakhir kami di sana ada tamu yang camping). Kamar mandinya wah, luas, dengan lantai kayu dan bathtub di tengah. Tempat tidurnya berkelambu, barang seni ada di sana sini. Sungguh mendekati selera saya. Ceritanya menjadi kurang indah ketika malam hari Karin terus menerus mengeluh mencium bau kotoran. Kami méngendus setiap pelosok kamar, tapi tidak menemukan asal bau. Keesokan paginya Karin menemukan sumber bau ada di bawah tempat tidur dan itu merusak mood sepanjang hari serta menambah buruknya Brussels di mata kami. Walaupun akhirnya dibersihkan dan seprei diganti semua tapi saya sudah keburu tak suka.
Hujan dan demonstrasi mengakhiri perjalanan kami. Megabus terlambat hampir 45 menit membiarkan semua orang kehujanan. Meninggalkan Brussels kami menuju Burgs, Cologne dan tiba di Calais. Perbatasan Prancis untuk cap paspor, menuju gerbang selanjutnya untuk cap paspor lagi masuk UK. Kalau diawal perjalanan kami stempel paspor di Dover Inggris kemudian naik ferry selama 2 jam, total hampir 11 jam. Perjalanan dari Brussels lebih singkat. 7 jam termasuk euro tunnel train, bus masuk ke dalam train kosong menyusuri dasar laut. Lebih singkat dari ferry, hanya 35 menit. Pengalaman yang berbeda tentu saja.
Kami tiba di Bournemouth pukul. 00.30, terlambat hampir 40 menit karena supir bus harus menjadi saksi untuk kecelakaan serius yang terjadi. Di pagi buta yang dingin ini kami kembali menyeret koper, hanya kali ini pasti dan jelas tujuannya. Di tepi jalan ada dua gadis duduk, yang satu menangis tersedu dalam pelukan yang lain. Di seberang jalan terlihat wanita panggilan sedang merayu laki-laki di sebelahnya. Tidak jauh dari sana, mobil polisi dan beberapa polisi mewawancarai seorang gadis yang memberi laporan sambil menangis. Saya melihat jam, 00.45 – sepagi ini sudah diisi dengan kisah-kisah pilu. Yah, setiap hari, setiap tempat, setiap individu, setiap kehidupan memiliki kisahnya tersendiri.
Leave a Reply