Yangon-Myanmar

Myanmar yang dulu dikenal sebagai Burma adalah salah satu negara Asia Tenggara yang berbatasan dengan India, Bangladesh, Cina, Laos, dan Thailand. Ibukotanya Yangon (dulunya Rangoon). Sesampai di sana, kesan pertama yang saya tangkap ketika masih di lapangan terbang adalah orang Myanmar mirip dengan orang Indonesia. Kegemaran memakai gadget lebih kurang juga sama. Selayang pandang orang Myanmar bisa saja terlihat sangar, tetapi kalau kita bertanya mereka sangat bersedia membantu. Tampak luar bagaikan preman, di dalamnya seperti Gandhi.



Tabiat supir di sini sama dengan kebiasaan supir Sudaco di Medan, ngebut, potong sebisa mungkin, dan membunyikan klakson sepuasnya. Lajur lintasan di jalanraya adalah lajur kanan, tetapi stir mobil juga di sebelah kanan. Mobil yang berseliweran di sini kebanyakan buatan Jepang. Di mana saja ada orang menyeberang. Di jalan besar dengan arus dua arah sekalipun, jarang ditemukan zebra cross apalagi jembatan penyeberangan.



Naik taksi di Yangon seperti naik becak di Indonesia. Sebutkan tempat tujuan, tanya sewanya, tawar-menawar, dan jalan kalau cocok. Karena tidak mau repot mencari lokasi hostel yang saya pesan lewat internet, saya minta dijemput. Tarifnya lebih mahal dari tarif taksi biasa, tetapi menghemat waktu dan tenaga. Supir yang menjemput saya seorang muslim, campuran Pakistan dengan Myanmar, bernama Hton Hton --nama dan marganya. Dia sudah dua tahun menjadi supir. Sebelumnya dia adalah teknisi elektronik. Pekerjaan itu dia tinggalkan karena terlalu berat untuk matanya. Mobil yang dia pakai adalah pemberian puterinya yang bekerja sebagai perawat di Singapura. Bea masuk untuk mobil itu, katanya 200 persen harganya.

Perjalanan dari lapangan terbang ke hostel --karena sedikit macet-- lebih kurang satu jam 15 menit. Saya harus membayar 15.000 kyat (baca ciet). Di money changer di lapangan terbang US$ 1 dihargai 1.279 kyat. Hostel ini lumayan bersih, berada di lantai dua sebuah gedung. Balkonnya menghadap ke jalanraya, menyenangkan. Di situlah para tamu sarapan, merokok, maupun minum bir. 


Malam pertama di sana saya jalan-jalan ke China Town, 10 menit jalan kaki dari hostel. Udara yang panas membuat keringat mengucur terus. Sepanjang jalan banyak kios kecil yang menjual sirih. Daun sirih itu ditata rapi di meja. Kalau ada yang membeli, sirih itu diolesi air kapur, kemudian tambahkan tembakau dan pinang, lalu dibungkus. Gulungannya seperti lumpia. Harganya 15 kyat per sirih.

Yangon

Selain suka mengunyah sirih orang Myanmar gemar minum teh sambil nonton --TV-- bareng di pinggir jalan, seperti orang nonton bareng pertandingan sepakbola di Indonesia. Tetapi di sini yang ditonton adalah film cerita. Di sebuah kedai yang menyediakan kesempatan nonton bareng, nyonya pemilik kedai tanpa sungkan tiduran di depan TV-nya ... dan juga jadi “tontonan” ...
Saya kembali ke hostel karena baju sudah kuyup oleh keringat, mandi, tiduran, dan membuka internet yang lumayan kencang.



Yangon
nonton bareng

Keesokan paginya saya mendapat kabar dari reception bahwa tiket bus ke Bagan yang ada hanyalah untuk berangkat. Tiket untuk balik sudah sold out. Bagan adalah kota kecil yang terkenal dengan kompleks candi atau stupanya di distrik Nyang-U, lebih dari 600 kilometer di sebelah utara Yangon.

Saya memutuskan tidak jadi ke Bagan, berarti saya dua hari lagi di Yangon. Saya kemudian ke luar hostel, dan sampai di sebuah keramaian dengan penjual makanan yang begitu banyaknya di pinggir jalan. Ramai. Semua orang berbicara dalam bahasa Myanmar. Saya merasa seperti tersesat, tapi tersesat yang menyenangkan. Tujuan saya sebetulnya adalah stasiun kereta api, tidak terlalu jauh dari hostel. Saya jalan kaki melewati Pagoda Sule, dan tiba di stasiun itu tepat pada saat kereta hendak berangkat. Ini adalah circular train trip. Circular train trip cukup populer di kalangan pelancong bule karena selama tiga jam kita berkeliling, dari stasiun ke stasiun bersama penumpang lain, penduduk lokal, melewati pasar, perkampungan, dan desa. Suasananya tidak jauh berbeda dengan suasana naik kereta api di Indonesia, tetapi bahasa yang kita dengar, dan bau yang tercium memberikan nuansa yang lain. Setiap negeri dan masyarakatnya memiliki baunya sendiri.

Yangon
Pagoda Sule

Pedagang asongan naik turun di setiap stasiun. Mereka menjajakan semangka, kue, telur, dan juga apel. Udara kian panas dan kereta ini tidak dilengkapi dengan penyejuk ruangan. Jendela dibiarkan terbuka. Pada stasiun tertentu penumpang yang naik begitu banyak sehingga gerbong dipadati manusia. Setelah tiga jam berkeliling dan cuci mata kereta kembali ke stasiun awal. Circular train merupakan salah satu alternatif murah untuk menikmati Yangon. Harga tiketnya cuma 1.000 kyat atau US$ 0.80 atau Rp 10.800.

Yangon

Mayoritas penduduk Myanmar adalah Budhist. Menurut Hton Hton, supir yang menjemput saya ke lapangan terbang, populasi muslim di lebih kurang 8 persen dari total penduduk Myanmar (sekitar 55 juta jiwa). Statistik resmi pemerintah Myanmar menyatakan kaum muslim 4 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan Asosiasi Muslim Burma mengklaim angka 8 persen hingga 12 persen. Ada juga pemeluk Hindu, dan Kristen.

Pagoda bertebaran di seantero Yangon. Saya naik taksi ke Kandawgyi Park, sebuah taman danau yang besar sekali dengan jembatan kayu mengelilinginya, tempat penduduk menunggu senja turun. Begitu banyak mobil di parkir di sepanjang tepi danau ini dengan mesin hidup dan semua jendela tertutup tirai. Bagi saya ini mengherankan, karena itu saya amati. Setelah satu jam mengintai ... oops, saya melihat sepasang manusia --lelaki dan perempuan muda-- keluar dari salah satu mobil. Apa yang tadi terjadi di dalam mobil? Hanya mereka dan Tuhan yang tahu.
Di sini kita mudah menemukan pasangan muda berpelukan dan berciuman di taman, bahkan di trotoar yang gelap waktu malam.

YangonYangon

Dua orang anak berumur 11 tahun menghampiri saya. Dengan bahasa Inggris yang memerlukan perasaan dan imajinasi untuk memahaminya, mereka mengajak saya mengobrol. Cukup mengesankan karena satu di antaranya memberikan aneka pelayanan, seperti memberikan tisu, mengajak jalan-jalan di seputar danau, bahkan bernyanyi untukku. Katanya, kelak kalau sudah besar dia ingin menjadi pemain sepakbola. Saya memberinya sedikit uang untuk jasa yang dia berikan. Hujan yang turun membuat kami harus berpisah.

Yangon

Saya tinggal di sana sampai sore, tetapi bukan untuk mengintai mobil yang parkir di situ. Saya menunggu matahari tenggelam. Ketika sang surya masuk peraduan, pemandangannya sungguh menakjubkan, dengan Pagoda Shwedagan berkilau keemasan di sebelah utara.
Dalam perjalanan pulang ke hostel saya melihat orang-oang yang sibuk mempersiapan tempat pemungutan suara (TPS). Besok, 8 November 2015, Myanmar akan menyelenggarakan pemilihan umum yang menjadi sorotan banyak negara. Begitu banyak jurnalis asing yang datang meliput.

Teman sekamar saya malam ini adalah mahasiswi Australia lulusan Canada. Dia akan tinggal di Yangon selama satu bulan sambil mencari kerja. Wow, dia akan bekerja di tempat yang kelembabannya pada awal November ini mencapai 87 persen, yang membuat keringat terus mengucur.


Jika sudah sampai di Yangon jangan dilewatkan kunjungan ke Pagoda Shwedagon, pagoda dengan puncak bertahtakan emas dan permata. Tiket untuk masuk ke situ 8.000 kyat. Alas kaki harus dilepas dan ditinggalkan di pintu masuk. Bertelanjang kaki di bawah terik matahari di lantai yang panas membuat telapak kaki perih. Pada hari berikutnya saya habiskan waktu berjam-jam di situ mendengarkan orang-orang membaca doa, dan menyaksikan turis dari aneka bangsa yang hilir mudik membawa kamera. Myanmar yang saya lihat, memberi saya satu pelajaran. Buku memang tak dapat dinilai hanya dengan melihat sampulnya.



Yangon

Beberapa fakta menarik mengenai Yangon/Myanmar:

  1. Musim panas berlangsung sepanjang tahun di Yangon.
  2. Waktu Yangon setengah jam di belakang WIB.
  3. Tukar uang secukupnya di airport, selanjutnya bisa ditukar di bank yang bertebaran di seluruh kota.
  4. Taksi dari dan ke bandara lebih kurang 7.000 kyats sekali jalan.
  5. Yangon adalah tempat yang aman dan bersahabat, bahkan untuk solo traveller perempuan sekalipun.
  6. Yangon memungkinkan untuk dijelajahi dengan berjalan kaki. Kalau merasa capek silakan panggil taksi yang banyak berseliweran, rata-rata 2.000 kyats sekali jalan, tapi kalau agak jauh tambah 500 atau 1.000 kyats.
  7. Jalur jalan di sebelah kanan. Tidak ada zebra cross, karena itu menyeberanglah dengan berhati-hati setelah melihat kiri dan kanan.

  8. Makanan Asia dan China Town ada di 19th Street dan 20th Street.

  9. Lelaki di sini kebanyakan memakai sarung/longyi dan mengunyah sirih.

  10. Orang Yangon suka sekali menonton.

Add new comment

Plain text

  • No HTML tags allowed.
  • Lines and paragraphs break automatically.

Termasuk dalam Magao Ecological Park adalah Mingchi dan Cilan Forest Recreation Area.…

Rose Chen

Berada di ketinggian 1100 meter hingga 2600 meter di atas permukaan laut, Aowanda…

Rose Chen

Terletak di kota Renai di Nantou, Taiwan Tengah, Qingjing Veterans Farm (Foggy Eden) terbuka…

Rose Chen

Ketika roti tawar bersisa atau ketika tidak ada yang mau makan bagian tepi roti yang lebih keras…

Rose Chen

Saya pernah mencoba memakai baju “cheongsam”. Seorang teman di gereja mengatakan bagus…

Rose Chen

Donat Ayam (untuk 12 buah)

resep oleh: Sandy Law

Bahan:

250 gr…

Rose Chen

"Mengapa kamu wajib menonton film The Untamed di Netflix". Saya sedikit terkejut membaca twit…

Aldus Tolvias

Sebenarnya sup ini saya masak dengan panci khusus yang tidak perlu penambahan air. Jika…

Rose Chen

Pada suatu hari yang membosankan di tahun 2019, sebelum pandemi menyerang dunia, saya mencoba…

Aldus Tolvias