Sesumbar, Congkak, dan Nada Kebencian

Dalam percakapan sehari-hari sering terlontar kata-kata “iris kuping saya kalau ....” atau “potong kuping aku apabila ...” sebagai janji berisi taruhan untuk menunjukkan ketidak-yakinan akan sesuatu. Tetapi rasanya tak ada manusia yang kehilangan daun telinga gara-gara taruhan seperti itu. Mungkin tak ada pula orang yang menuntut agar janji taruhan bermulut besar tersebut ditepati.

Pada zaman silam “iris kuping” dilakukan terhadap musuh yang kalah perang. Tujuannya, menghina. Ketika “iris kuping” menjadi taruhan yang menantang ia dimaksudkan sebagai janji mengaku malu. Namun dalam kenyataan tak pernah ada pengakuan rasa malu dengan mengiris kuping. Sesumbar “iris kuping” hanya untuk menciptakan kesan gagah dalam percakapan bernuasa adu hebat. Ia menjadi bual yang tak usah dipercayai.

Sebagai sesumbar ia terlontar pada saat pikiran tertindih di bawah emosi. Ia bernada congkak, dan menjadi kata pamungkas manakala tak ditemukan lagi argumentasi untuk mendukung pendapat. Dalam pembicaraan serius, tukar pikiran yang memakai akal dan budi, sesumbar “iris kuping” demi kegagahan pernyataan tidaklah dibiasakan.

*

Sejalan dengan zaman yang berkembang, konsep kegagahan dalam membual mungkin juga berubah. Barangkali “iris kuping” sekarang sudah terasa kecil, kurang getaran, atau kurang hebat. Zaman yang selalu datang dengan segala sesuatu yang baru, memperkenalkan sesumbar yang lebih dahsyat. Monumen Nasional (Monas) pun dibawa-bawa, dan diucapkan lewat mulut besar yang lebih besar lagi.

Empat tahun yang lalu ada politikus yang berjanji bersedia digantung di Monas apabila dia terbukti korupsi. Sayangnya ketika mahkamah pengadilan menyatakan dia bersalah, hakim tidak menjadikan “gantung di Monas” sebagai vonis. Si politikus itu hanya dikurung dan kini meringkuk dalam bui. Tak ada pula orang yang mengejar dia ke sel penjara untuk diseret ke Monas buat digantung. Akhirnya “gantung saya di Monas” yang terdengar lebih gagah itu tidak lebih tinggi kelasnya dari “iris kuping saya”. Nilainya tak lebih dari bual di kedai kopi. Orang Betawi bilang, “Itu cuman bebacot asal bebacot ...”

Maka tak usah pulalah percaya pada sesumbar pengurus partai politik yang berjanji akan terjun dari puncak Monas jika Teman Ahok berhasil mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP) sesuai dengan jumlah yang menjadi syarat calon Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang maju lewat jalur independen. Itu adalah omong kosong yang oleh orang politik sering hendak dikesankan sebagai kesungguhan.

*

Hanya saja dalam periode penyaringan calon kandidat Gubernur DKI Jakarta sekarang masalah yang sesungguhnya bukanlah percaya pada bacot yang sesumbar, atau tak percaya pada mulut besar. Persoalan pokok adalah pada latar mana publik diajak memahami persoalan yang sebaiknya tidak dibahas dengan bahasa pinggir jalan. Bisingnya “bebacot asal bebacot” itu membawa publik ke dunia yang tidak menghargai nalar. Publik tidak diajak ke arena tukar pikiran. Kampanye politik yang ditabuh lebih banyak berbunyi “dia (lawan saya) tidak pantas”, dan hampir tak terdengar statement yang berbunyi “saya pantas, karena ...” Pernyataan bersedia terjun dari puncak Monas tadi adalah bagian dari kampanye politik yang menyatakan “dia tidak pantas” itu.

Kenapa “dia tidak pantas” lebih nyaring bunyinya daripada “saya pantas karena ...”?

Itu mungkin disebabkan oleh mutu manusia yang kini berada di dunia politik, setelah pembangunan dan kaderisasi di dunia politik itu beku berpuluh tahun. Mutu yang bagaimana? Tak perlu diperjelas, karena hampir semua orang tahu. Tapi boleh jadi pula itu --“dia tidak pantas” lebih nyaring bunyinya daripada “saya pantas karena ...”-- menyangkut rekam jejak, curriculum vitae, ada atau tidak adanya prestasi yang dapat diperlihatkan kepada khalayak. Apabila prestasi dalam rekam jejak itu tidak ada maka siapa saja yang melakukan kampanye politik (membangun dukungan, membangkitkan harapan) akan melakukan urusan yang oleh politikus Amerika Serikat (AS), Adlai E. Stevenson II, disebut sebagai kerja yang paling sulit.

Stevenson --mantan calon presiden AS, pernah menjadi duta besar untuk negaranya di PBB-- mengatakan, hal yang paling sulit dalam kampanye politik adalah menemukan cara untuk menang tanpa menunjukkan bukti bahwa tidak akan sia-sia jika kita menang.

Ketika tak ada jalan untuk menunjukkan bukti bahwa “saya layak dipilih”, maka jalan yang ditempuh adalah mengumbar pernyataan “dia tak layak dipilih”. Terkadang pernyataan seperti itu didominasi oleh emosi. Ia menjalar ke luar. Para penggembira di media sosial berbicara dengan emosi yang lebih garang, dengan bahasa dendam kesumat, dan menjadikan agama serta ras sebagai pemecah-belah.

Itulah yang berlangsung dalam periode penyaringan calon kandidat Gubernur DKI Jakarta sekarang. Sebagian media merelakan diri menjadi pentas tontonan yang memuakkan ini, menjual semuanya itu sebagai komoditi yang daya tariknya kuat karena nafas sensasionalnya. Mutu kehidupan warga kota dan kota itu sendiri yang selayaknya dibahas dengan pikiran jernih, dengan emosi yang teduh, dan dengan akal yang bekerja baik, dibicarakan dengan bahasa pinggir jalan --penuh sesumbar, omong kosong, dan menabur kebencian-- yang menghina pikiran.

Sesumbar

Catatan : Tulisan ini pertama muncul sebagai note di akun Facebook penulis pada tanggal 4 April 2016.

SaveSave

Add new comment

Plain text

  • No HTML tags allowed.
  • Lines and paragraphs break automatically.