Patah Tumbuh Peduli

中文

English

Tahun 2013 saya memulai blog Patah Tumbuh. Patah Tumbuh saya pakai sebagai nama buat mengisyaratkan datang dan perginya generasi demi generasi. Saya peduli generasi muda. Tidak mampu menyumbangkan materi, saya berusaha menuangkan sebanyak mungkin pengetahuan saya lewat Patah Tumbuh. Seiring perjalanan waktu, Patah Tumbuh (Patahtumbuh) menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari diri saya. 

*

Sekitar setahun yang lalu saya membaca di lini masa seorang teman kisah tentang sepasang suami istri muda dari Jakarta yang kemudian tinggal dan bekerja di Papua. Saya sangat terkesan dengan bakti sosial yang tulus pasangan ini. Melakukan apa yang mereka kerjakan pernah menjadi impian saya. 

*

Setelah tinggal di Taiwan 20 tahun, saya akhirnya berkesempatan untuk belajar bahasa Mandarin dengan lebih serius. Saya belajar di sekolah malam. Teman sekelas saya adalah para migran dari berbagai negara. Setelah belajar beberapa bulan, guru meminta kami menulis cerita singkat bagaimana kami sampai berada di Taiwan. Atas anjuran salah seorang pegawai sekolah, tulisan kami dikirim guru ke kontes menulis bertema “Kita Satu Keluarga” yang diselenggarakan oleh organisasi pemerintah urusan migran di Taiwan. 

Awalnya saya tidak begitu antusias karena tulisan murid baru seperti saya pasti tidak akan menang. Tetapi kemudian saya berubah pikiran. Dalam pengertian saya saat itu, pemenang adalah tulisan dengan perolehan suara pembaca terbanyak. Karena itu saya sibuk meminta tolong teman-teman untuk “vote” tulisan saya, tidak peduli sebagian besar teman tidak mengerti apa yang mereka lihat (karena aksara Mandarin). 

Ketika saya diberi tahu akan ada hadiah uang sebesar NT5.000 buat pemenang, saya pun berangan-angan apa yang akan saya lakukan kalau saya menang. Saya bercerita pada kakak ipar saya (orang Taiwan). Dia bercerita lagi kepada teman-temannya dan meminta mereka membantu “vote” adik iparnya. Kepada dua teman akrab saya A dan B saya juga katakan, “Impianku dari dulu adalah membantu pendidikan anak-anak di daerah sangat terpencil di Indonesia. Tapi sampai detik ini aku belum mampu, terlebih-lebih karena tanggung jawab sebagai istri yang tidak bekerja dan ibu empat anak. Kalau aku berhasil memenangkan NT5.000 ini, ini adalah penghasilanku yang pertama dalam jumlah cukup besar, hasil keringat ku sendiri.” Saya ceritakan bahwa saya akan mulai dengan NT5.000 itu sebagai fondasi untuk membangun “Patah Tumbuh Peduli” (PTP), satu organisasi non-profit (walau mungkin awalnya hanya aku anggotanya) yang misi utamanya adalah pendidikan. Saya ceritakan pula, saya akan kirimkan uang itu untuk yang membutuhkan. Yang saya pikirkan adalah anak-anak di Papua dan membayangkan pasangan yang kisahnya saya baca tahun lalu itu.

A: Setelah itu bagaimana? Setelah kamu kirimkan uang itu, dari mana lagi nanti dana PTP?

Saya: Aku belum punya bayangan, mungkin aku harus mendapatkan penghasilan dari bekerja, jualan, menulis buku, atau mungkin juga dari sumbangan. Orang yang kenal aku pasti percaya sama aku. Aku akan buat pembukuan yang transparan, dari mana dan ke mana saja uang PTP mengalir. Aku yakin Tuhan akan membuka jalan. Yang penting sekarang menang dulu.

Kami bertiga kemudian diam. 

Keesokan harinya saya ditelepon kakak ipar.
Kakak: Rose! Kata kawanku, kalau kamu menang dan jadi mengirimkan uang untuk anak Papua, dia akan menambah uang hadiahmu dengan uangnya sendiri.
Saya: Waaah, terimakasih, Kak!

Setelah itu saya langsung menelepon teman saya, A, menyampaikan berita ini, “Sis! Lihatlah betapa Tuhan membuka jalan bagiku. Aku belum menang, sudah ada yang menjanjikan uang.”

Beberapa hari kemudian kelas bahasa Mandarin kami mengadakan acara makan bersama (masing-masing membawa satu jenis makanan). Semester pertama sudah berakhir. Saat makan guru bertanya apakah saya mau mencoba mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah malam itu. Saya mengiyakan. Beliau kemudian memperkenalkan saya kepada pegawai sekolah yang meminta saya mengisi formulir lamaran kerja dalam jaringan (online). Walau sampai saat saya menulis ini, belum ada kepastian saya akan diterima mengajar di sekolah itu, setidaknya saya sudah melamar atas saran dari salah seorang guru di sekolah yang sama. Bukankah itu artinya ada kemungkinan diterima? Semoga saja.

Saya juga harus membuat kerangka materi pengajaran untuk 18 kali pertemuan. Saya sedang mengerjakan materi untuk pertemuan pertama: “Mengenal Indonesia” ketika seorang kenalan Facebook mengatakan akan mengirimkan buku “This is Jakarta” untuk saya, padahal dia tidak tahu sama sekali rencana saya ini. Really, Tuhan, Engkau mau aku melakukan ini bukan? 

Jakarta

Pada saat yang hampir bersamaan saya tahu, hadiah kontes menulis bukan uang seperti yang guru saya katakan. Saya agak kecewa dan menceritakannya kepada B dan suami saya. Saya juga mengatakan pada suami bahwa kalau saya jadi mengajar, saya berencana menggunakan proyektor dan power point. Saya tentu butuh notebook. Suami mengatakan bahwa saya boleh meminjam notebooknya. Walau saya merasa itu bakal merepotkan, tapi apa boleh buat. 

Esok malamnya suami saya pergi ke acara akhir tahunan rumah sakit tempat dia bekerja. Setiap tahun semua pegawai rumah sakit makan bersama dan ada banyak hadiah yang diundi. Saya di rumah meneruskan menulis kerangka silabus ketika menerima pesan –foto-- dari suami di handphone saya. Dia mendapat hadiah notebook! Saya balas pesannya: Tuhan tahu saya butuh notebook. Mau tak mau dia pasti memberikan notebook barunya kepada saya. Ha ha ha.

Saya lalu menelepon Mama saya di Medan. Mama berkata, “Kalau kamu sudah berniat baik, segala yang baik akan datang padamu untuk mendukung terlaksananya niat baikmu.”

Tanggal 17 Januari 2019 saya menerima hadiah saya sebagai penerima vote terbanyak yaitu sebuah lampu gantung. Saya bersyukur dan menganggap itu adalah simbol supaya saya menjadi terang bagi yang dalam kegelapan.

Beberapa hari kemudian saya mendapat pesan dari B. Katanya dia kepikiran terus cerita saya dan mau mampir kapan-kapan untuk ikut “menyumbang”. Beberapa hari yang lalu dia benar-benar datang membawa buah tangan dan satu ampelop. Setelah dia pulang, saya buka ampelop itu. Isinya? NT5.000 untuk PTP.

Saya kemudian mengirim berita ini kepada kakak ipar dan mengatakan penyumbang pertama saya sudah ada. Kakak berjanji waktu ketemu dengan teman-temannya tanggal 30 Januari dia akan menceritakan bahwa saya sudah siap untuk mengirim sumbangan ke Papua. Saya katakan, kalau mereka ingin saya menerangkan Papua itu di mana dan siapa yang mereka bantu, dan mengapa saya memilih Papua, saya bersedia bertemu.

Tadi sore saya bertemu dengan kakak ipar untuk menerima sumbangan dari teman-temannya. NT5.500.

Semua ini berawal dari keinginan saya menghidupkan blog Patahtumbuh sebagai media berbagi pengetahuan, berlanjut ke kursus bahasa yang saya ikuti, kegiatan yang memperlihatkan penerimaan Taiwan pada para migran dengan motto “Kita Satu Keluarga”. Saya, Papua, semua anak Indonesia, dan semua penghuni bumi adalah satu keluarga.

Komentar

Tambah komentar baru

Teks polos

  • Tidak ada tag HTML yang diperbolehkan.
  • Baris dan paragraf baru akan dibuat otomatis.

Baca juga tulisan sebelumnya:...

Rose Chen

Hari pertama di Chiang Mai dimulai dengan shopping di Maya Lifestyle Shopping Center...

Rose Chen

Pulau Keelung (Keelung Islet) adalah pulau kecil yang terletak lima kilometer dari...

Rose Chen

Di Taiwan sayur paku sarang burung adalah kegemaran orang lokal. Biasanya mereka tumis dengan...

Rose Chen

Mungkin banyak yang belum pernah makan umbi bunga lily (bunga bakung). Umbi bunga lily bisa...

Rose Chen