Sebelumnya: Tidak Seindah Perkiraan (Bagian 3)
Beberapa tahun yang lalu pendeta di gereja tempat saya biasa beribadah di Taiwan mempromosikan satu organisasi non-profit yang kegiatan utamanya adalah membagikan bahan makanan pokok kepada orang miskin. Dia memperlihatkan beberapa foto lewat proyektor. Saat melihat foto penerima itu saya berpikir, ini yang mereka sebut miskin?
Keadaan yang jauh lebih parah dari itu sudah pernah saya lihat semasa saya jadi dokter PTT. Saya tinggal di antara mereka selama tiga tahun. Rumah orang “miskin” yang fotonya diperlihatkan pendeta itu dindingnya tembok (dari batu bata). Perabotnya sofa yang walau kelihatan tua tapi masih lumayan bagus.
Dinding rumah di desa S dari papan, lantainya tanah. Kalau anak-anak ngompol tak perlu dipel. Tidak ada kamar mandi atau kamar kecil. Orang dewasa mandi dan buang air besar di sungai. Jangan tanya saya di mana mereka buang air besar kalau mencret. Tapi setiap rumah ada cangkul. Di salah satu rumah yang pernah saya kunjungi, perabotnya hanya satu tempat tidur yang sudah tua dan satu meja kecil. Bahkan kursi pun tidak ada. Bagaimana saya bisa meminta biaya berobat yang tinggi kepada mereka? Biaya rendah pun tak sanggup mereka bayar.
Saya dengar dari Bu Sum, sebagian penduduk desa dalam setahun makan daging ayam hanya sekali, yakni waktu Lebaran. Waktu saya kecil, saya merasa keluarga saya miskin sekali. Setiap menemani Mama belanja di satu toko, bos toko itu pasti pegang satu notes kecil yang isinya catatan utang Mama saya yang akan dibayar saat Papa gajian. Begitu pun, paling tidak sebulan sekali kami pasti pernah makan daging ayam. Karena itu, di sekitar hari pernikahan, saya dan suami ingin berbagi kegembiraan dengan mengundang warga desa untuk makan-makan merayakan pernikahan kami.
Pada hari yang disepakati, semua sibuk mempersiapkan acara. Kapus saya menganjurkan untuk menggunakan puskesmas sebagai tempat hajatan (tak kan saya lupakan kebaikan Kapus saya). Istri Pak Lubis sibuk memasak. Beberapa lelaki mempersiapkan tikar dan peralatan makan. Saya diberitahu bahwa para ibu tidak akan makan bersama bapak-bapak. Saya merasa kasihan pada suami saya yang saya pikir akan menderita culture shock. Dari awal dia sudah mempersiapkan “pidato”nya dan belajar mengucapkan salam. Saya tidak ikut mendengar apa yang dia bicarakan dengan bapak-bapak itu, tapi di kemudian hari, Pak Lubis mengatakan bahwa suami saya terlalu keren untuk saya. Dia mengatakan itu dengan serius pula. Aduh …
Baca lanjutannya: Miskin Itu Relatif (Bagian 2)
Tambah komentar baru