Jurnalisme yang Terbantun dari Akarnya

Membaca (mengikuti) laporan media massa belakangan ini --terutama media online-- kerap membuat audience mengurut dada. Mengurut dada adalah pertanda kecewa, seperti hendak menyabarkan diri sendiri, yang kalau perasaan itu diucapkan ia kira-kira berbunyi “kenapa harus begini buruk” ...

Paragraf pertama sebuah berita media online berbunyi;

“Berdasarkan laporan SOFIA (The State of World Fisheries and Aquaculture) 2014, 90,1% stok ikan dunia sudah dieksploitasi. Tahun lalu, Managing Director Bank Dunia mengatakan pengelolaan stok ikan tidak efektif dan penangkapan ikan ilegal telah membuang US$ 75 miliar sampai US$ 125 miliar dari produksi global per tahun. Di Indonesia sendiri, lanjut Susi, ada kehilangan pendapatan sekitar US$ 20 miliar akibat penangkapan ilegal ini. Lebih dari itu, penangkapan ikan ilegal juga mempengaruhi ekonomi para nelayan kecil Indonesia.”

Baca: Menteri Susi Bicara

Tiba-tiba di awal laporan ada nama Susi.

Ini siapa?

Tiba-tiba ada kata “lanjut Susi”. 

Lanjutan dari omongan yang mana dari Susi?

Di sebelah atas paragraf pertama itu memang ada foto Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Susi Pudjiastuti. Dia memang populer. Wajahnya cukup dikenal orang banyak. Tetapi bukan tugas foto itu, dan juga bukan tugas keterangan foto, untuk menjelaskan siapa Susi yang disebut oleh paragraf pertama berita. Untuk bercerita secara jelas dan lengkap, isi sebuah berita tidak menggantungkan dirinya pada unsur lain dalam media. Berita itu sendirilah yang harus memberikan informasi yang jelas dan lengkap.

Kalau Anda ingin “mempermainkan perasaan” Anda, mau mengurut dada berulang-ulang, bacalah terus berita itu sampai ke ujung. 

Di situ Anda tidak sekalipun menemukan jabatan Susi. 

Tak akan sekalipun Anda menemukan nama lengkap Susi.

Anda tidak akan mendapat penjelasan yang pasti di forum apa dia berpidato. 

Anda tidak diberi tahu, apa itu perjanjian PSMA yang diratifikasi.

Anda tak akan paham, perayaan apa yang dimaksud oleh kalimat “ ... Saya senang menjadi bagian dari perayaan ini, dan saya yakin Anda semua juga begitu. 

... Acara perayaan kemudian dilanjutkan dengan pemberian penghargaan kepada para pimpinan delegasi negara yang meratifikasi PSMA ini. ...

Itu baru urusan aspek teknis penyajian laporan. Pada aspek yang lain --cara pandang jurnalis melihat apa yang berharga sebagai informasi yang dibutuhkan orang banyak-- kerap kita menyaksikan pilihan yang tidak pada tempatnya ... setidak-tidaknya pilihan yang lahir dari kedangkalan pikiran.

Kenapa berita ini diberi judul “Menteri Susi Lulusan SMP Bicara Dihadapan [sic] 35 Pimpinan Dunia”? Bukankah isi pidato yang dilaporkan itu sama sekali tak dikaitkan dengan “ke-SMP-an” orang yang berpidato? Apakah surprise yang ditimbulkan keputusan Presiden Joko Widodo mengangkat orang yang hanya tamat sekolah menengah menjadi menteri tak kunjung selesai?

Ini adalah pilihan yang dibuat oleh jurnalisme yang mengandalkan sensasi, tetapi sensasi “SMP dan jabatan menteri” itu sebetulnya sekarang tidak lagi sensasional.

Cara pandang seperti ini betul-betul mengabaikan proses terbentuknya kualitas seseorang. Cara pandang seperti ini menempatkan Susi Pudjiastuti hanya sebagai tamatan SMP, dan mengabaikan kiprah bertahun-tahun serta sukses yang dia raih dalam dunia usaha yang membuat dia layak jadi menteri -- bahkan menjadi menteri yang lebih “berkilau” dari anggota kabinet yang lain.

Dengan laporan semacam inilah antara lain sekarang publik dilayani dalam mendapatkan informasi. Sebagian produk jurnalisme di Indonesia kini mengabaikan kejelasan dalam menerangkan unsur pokok laporan yang dirumuskan menjadi 5 W + H (what, who, why, when, where, how). Ia mengabaikan kelengkapan dan kejelasan fakta suatu masalah maupun peristiwa yang dilaporkan. Di tangan orang-orang yang tak mumpuni dalam kemampuan profesional, jurnalisme jadi terbantun dari akarnya. Khalayak “diracuni” dengan contoh-contoh buruk, yang terkadang mengecoh dalam hal pemilihan sudut pandang laporan.

Sebagai penyampai informasi laporan ini tak ada gunanya. Kalaupun ada artinya, itu hanyalah sebagai pencetus pertanyaan, manusia seperti apa sekarang yang bekerja atau mengaku sebagai jurnalis dan mengasuh media massa.

Terbantun

Catatan: Tulisan ini pertama muncul di akun Facebook Penulis pada tanggal 19 Juli 2016

SaveSave

SaveSave

SaveSave

Add new comment

Plain text

  • No HTML tags allowed.
  • Lines and paragraphs break automatically.

Termasuk dalam Magao Ecological Park adalah Mingchi dan Cilan Forest Recreation Area.…

Rose Chen

Berada di ketinggian 1100 meter hingga 2600 meter di atas permukaan laut, Aowanda…

Rose Chen

Terletak di kota Renai di Nantou, Taiwan Tengah, Qingjing Veterans Farm (Foggy Eden) terbuka…

Rose Chen

Ketika roti tawar bersisa atau ketika tidak ada yang mau makan bagian tepi roti yang lebih keras…

Rose Chen

Saya pernah mencoba memakai baju “cheongsam”. Seorang teman di gereja mengatakan bagus…

Rose Chen

Donat Ayam (untuk 12 buah)

resep oleh: Sandy Law

Bahan:

250 gr…

Rose Chen

"Mengapa kamu wajib menonton film The Untamed di Netflix". Saya sedikit terkejut membaca twit…

Aldus Tolvias

Sebenarnya sup ini saya masak dengan panci khusus yang tidak perlu penambahan air. Jika…

Rose Chen

Pada suatu hari yang membosankan di tahun 2019, sebelum pandemi menyerang dunia, saya mencoba…

Aldus Tolvias