Keterampilan berbahasa terbentuk lewat pengalaman sehari-hari dan mempelajari bahasa tersebut di sekolah. Dalam pengalaman sehari-hari ada yang namanya kegiatan membaca, mendengar, berbicara, dan menulis. Keterampilan itu dapat menjadi lebih baik apabila dalam berbahasa seseorang mempergunakan pertimbangan yang didasari nalar dan juga perasaan.
1. Karena kata “hias” bermakna “memperelok”, pantaskah dukacita dianggap, dirasakan, atau dikatakan sebagai sesuatu yang “menghiasi” (lihat klausa “kabar duka menghiasi dunia sepak bola Brasil” pada hasil screenshot berita sebuah media online)? Agaknya ada yang akan mengatakan itu adalah gaya bahasa, atau gaya berbahasa, atau berbahasa dengan bergaya. Apa pun yang akan dinyatakan sebagai penjelasan, rasanya tak dapat diterima kepatutan.
2. Dalam berkata-kata maupun menulis senantiasa ada kebiasaan tiru-meniru. Sering terjadi, peniruan itu tanpa disertai keinginan untuk memeriksa apakah yang ditiru itu benar, dan apakah yang ditiru itu pantas.
Dalam dunia jurnalisme kita (Indonesia) juga ada jurnalis yang suka menjadi Pak Tiru atau Bu Tiru. Salah satu gejala peniruan yang diperlihatkannya adalah berupa uraian berisikan kata-kata yang tidak perlu. Kadang-kadang ia seperti mengharapkan sesuatu yang tak ada sebagai ada. Untuk jelasnya, seperti contoh berikut ini.
Si X adalah pramugari yang tewas dalam kecelakaan pesawat udara Senin siang. Senin pagi ketika akan berangkat kerja X pamit pada orangtuanya, dan mencium ibunya. Delapan jam kemudian keluarga X menerima kabar bahwa X tewas. Mungkin untuk “mewarnai” keterkejutan dan perasaan duka keluarga X, wartawan suka sekali menulis kalimat; “Ibu X sama sekali tidak menduga bahwa ciuman X Senin pagi adalah ciuman yang teakhir dari anak yang dia sayangi itu.” Betul, kecelakaan tersebut dan juga kematian X adalah kenyataan yang tidak terduga. Tetapi akan adakah dugaan dari sang ibu bahwa ciuman Senin pagi itu adalah ciuman yang terakhir dari anaknya? Rasanya tidak akan ada. Jika ada, mungkin sang ibu menganggap itu sebagai firasat dan boleh jadi dia mencegah X masuk kerja, walau ada risiko yang harus dihadapi X sebagai karyawan. Pada kasus seperti itu, wartawan menceritakan sesuatu yang tak perlu dia ceritakan. Jika ingin memberi warna pada dukacita yang dirasakan keluarga X, apa susahnya menulis kalimat;
+ Kabar duka itu diterima keluarga X delapan jam setelah X pamit pada orangtuanya Senin pagi. Ciuman X pada ibunya saat pamit, menjadi ciuman terakhir dari sang anak.
Kalimat seperti itu bisa lebih menggetarkan perasaan pembaca.
Hal yang serupa dengan itu terlihat dalam kalimat -- “Kejadian wafatnya mantan bek tangguh Brasil tersebut di luar dugaan” (lihat screenshot berita ). Memang, itu adalah kejadian yang tak terduga. Buat apa disebut lagi? Tentu menurut penulis berita ada alasannya: dua hari sebelumnya mantan bek kesebelasan nasional Brasil itu menjadi komentator dalam siaran langsung di studio saluran lokal, Sportv.
Jurnalisme melarang wartawan mengatakan sesuatu yang tak perlu dikatakan. Tetapi wartawan mungkin ingin menerangkan kejadian dengan memberikan sentuhan pada perasaan pembaca, dengan memakai fakta. Jika itu maksudnya, sebaiknya ditulis kalimat;
+ Dua hari sebelum wafat, Alberto muncul dalam siaran langsung di studio saluran lokal, Sportv, sebagai komentator.
Apa yang diperlihatkan oleh kasus bahasa nomor 1 dan nomor 2 itu? Jawabannya adalah wartawan sering memakai bumbu yang sama sekali tidak jadi penyedap.
Catatan: Tulisan ini pertama muncul sebagai note di akun Facebook Penulis.
Add new comment