Seorang teman mengeluh di grup ibu-ibu bahwa anaknya yang duduk di kelas dua Sekolah Dasar (SD) sudah beberapa kali membawa pulang kertas latihan dari sekolah yang penuh dengan catatan dari gurunya. Kali ini gurunya menulis: E (inisial nama anaknya) tampaknya tidak cukup rajin belajar. Minggu depan sudah mau ujian. Saya tidak bisa mengajari anak anda “akal sehat” (common sense), saya tahu dia tidak begitu matang. Bisakah anda sebagai orangtua bantu mengajari dia? Tolong tandatangani sebelum kertas latihan ini dikembalikan pada guru.
Teman saya sangat marah karena catatan itu ditulis di kertas latihan yang dibawa pulang oleh anaknya. Artinya anaknya juga bisa membacanya dan tentu saja menjadi sedih karena dicap bodoh dan malas.
Hal ini pernah terjadi pada anak saya yang paling kecil waktu dia duduk di kelas satu SD. Gurunya selalu memberi tanggapan negatif atas semua usahanya -- tulisannya jelek, gambarnya jelek. Dia bodoh karena tidak bisa menjawab soal matematika. Itu yang ditulis gurunya di buku komunikasi. Akibatnya anak saya tidak mau ke sekolah. Setiap pagi dia menangis.
Waktu saya suruh kerjakan soal matematika yang belum dia selesaikan saat di sekolah, dia bisa! Kesimpulan saya, cara guru itu mengajar tidak sesuai dengan cara anak saya belajar. Ada masalah didaktik yang serius pada si guru.
Saya memutuskan, anak saya pindah sekolah, waktu baru mulai kelas dua. Sekarang dia sudah kelas enam dan sangat mencintai sekolahnya.
Senin (12/11) yang lalu mereka sekelas bersama guru naik gunung kedua tertinggi di Taiwan. Mereka pergi selama lima hari, dan baru pulang hari Jumat (16/11). Di luar pengetahuan mereka, sekolah mempersiapkan “pesta” penyambutan. Semua murid, guru, dan orangtua berdiri sepanjang jalan masuk dari gerbang sekolah yang akan dilalui murid kelas enam yang baru pulang. Ada tiga drum besar di gerbang sekolah, dipukul oleh guru, dan ada petasan. Ada suasana gembira, penghargaan, bahkan sanjungan yang tercipta.
Kepala sekolah berdiri di depan gerbang memegang petasan. Ketika rombongan tiba dia memeluk guru wali kelas dan menyalami murid satu persatu. Anak-anak itu mendapatkan surprise.
Setelah acara penyambutan singkat itu selesai, semua dipersilakan menyantap makanan yang dibawa orangtua. Anak-anak yang selama lima hari di gunung makan seadanya bersantap dengan lahap. Di wajah mereka terlihat bukan hanya rasa senang, tetapi juga kebanggaan untuk prestasi mereka yang dihargai. Sekolah anak saya ini --lembaga swasta-- bukan hanya institusi pengajaran. Ia menjalankan peran mendidik yang sangat berarti bagi pengembangan kejiwaan murid-muridnya.
Add new comment