Pasien Khusus (Bagian 2)

Sebelumnya: Pasien Khusus (Bagian 1)

Duduk di dalam kamar membaca hanya dengan diterangi lampu dinding membuat saya cepat mengantuk, padahal matahari belum lama terbenam. Saya juga merasa lapar dan mulai membayangkan enaknya kalau saya berada di Medan atau di Padangsidimpuan yang kalau saya merasa lapar bisa makan atau beli jajanan. Banyak yang bisa dibeli di sana. Pisang goreng, kue pancong, putu bambu, martabak, tahu goreng … Papa suka makan kwetiau goreng. Papa tahu saya tidak suka makan kwetiau, jadi buat saya akan disisihkan udang dan bakso ikannya. 

Malam-malam begini biasanya orang di desa ini makan apa, ya? Besok saya akan tanya Indri, anak Bu Sum yang suka main ke rumah Kapus. Sejak saya masuk ke rumah dinas sendiri, hampir tiap hari dia nongol juga ke sini. 
Tok… tok… tok… Lamunan saya terputus. 
Saya: Siapa? 
Niar: Aku Niar, Kak. Kak Ros dipanggil Kakak ke rumah sebentar. 
Saya (membuka pintu): Bentar ya, aku ganti baju dulu. Nanti aku nyusul. 
Niar berjalan kembali ke rumahnya. Saya yang sudah memakai baju tidur, terpaksa mengganti baju lagi dan mengambil senter serta kunci rumah lalu berjalan menuju rumah Kapus. Di depan rumah Kapus saya lihat ada beberapa ibu-ibu. Ah, pasti ada pasien lagi. Saya mulai paham kebiasaan orang desa ini. Kalau ada anak yang sakit, mereka beramai-ramai mengantar ke dokter. Mungkin ke rumah dokter adalah satu kegiatan yang bagi orang desa ini rasanya seperti kalau orang kota pergi ke mal —seperti rekreasi, mencari udara baru-- pengalihan perhatian, keluar dari kegiatan rutin yang membosankan dalam hidup sehari-hari. 

Saya masuk ke rumah Kapus sambil mengucap salam. 
Kapus: Masuk, Dokter Ros. 
Saya: Dokter memanggil saya? 
Kapus: Iya. Kapus menatap saya. Saya balas menatap mata Kapus menunggu instruksinya. Dia diam beberapa detik seperti mau memastikan saya mengerti apa yang mau dia katakan selanjutnya. Tangannya memegang pundak seorang bocah laki-laki yang berdiri tidak jauh dari dia. Usia anak itu mungkin 5 atau 6 tahun.  Saya tetap menatap matanya dengan tanda tanya. 

Ritsleting

Kapus: Preputium anak ini terjepit ritsleting. Coba kamu tolong lepaskan. 
Saya: Oh… Saya menoleh ke anak yang dipegang Kapus. Suasana agak hening, padahal ada banyak orang. Saya berpikir, apakah Kapus mau menguji saya? Atau beliau hanya tidak ingin melakukannya? Ah, tidak usah banyak tanya. Yang penting sekarang bagaimana saya melepaskan ritsleting ini. Saya jongkok perlahan di depan anak itu. 
Dalam hati saya (pribadi orang kota) menyesali, mengapa ibu anak ini tidak kasih dia pakai celana dalam? 
Terus aku (pribadi orang desa) menjawab, “Tolol kali kau, dikasih pakek celana saja sudah syukur.” 
Saya: Setidaknya beli celana yang pakai karet lah. Ngapain anak umur 5 tahun pakai celana ritsleting. 

Saya memperhatikan preputium yang terjepit ritsleting. Ah, ternyata hanya sedikit bagian yang terjepit. Saya mempertimbangkan apakah perlu meminta minyak dan sarung tangan kepada Kapus… Ah, bisa dihardik saya nanti, “Emang kau kira kita berada di mana?” 
Saya tanya anak itu, “Sakit?” Dia mengganggukkan kepalanya, tapi kemudian menggeleng. Saya (ketawa untuk memberi rasa tenang kepada si anak): Lah, sakit atau tidak? Saya bicara sambil mencoba membuka ritsleting celana anak itu. Saya bayangkan kalau tidak lepas atau kalau anak itu menangis, saya akan menggunakan minyak. Eh! Dengan mudah sekali ritsleting itu melepaskan jepitannya pada kulit penis si anak. 
Saya mengangkat wajah saya menatapnya dan dia tersenyum lebar… ganteng sekali. Saya pikir orang-orang di sekitar saya belum mengerti apa yang terjadi. Mungkin mereka baru bersiap-siap mau melihat bagaimana cara dokter Cino baru ini melepaskan jepitan maut “sleting” (begitu mereka menyebut ritsleting) ini. Eh, kok dokter Cino ini seperti main sulap saja. Semoga mereka tidak sadar, bahwa itu kebetulan kasus yang tidak sulit, hanya keberuntungan saya belaka. He he he …

Baca lanjutannya: Tidak Seindah Perkiraan (Bagian 1)

Add new comment

Plain text

  • No HTML tags allowed.
  • Lines and paragraphs break automatically.

Termasuk dalam Magao Ecological Park adalah Mingchi dan Cilan Forest Recreation Area.…

Rose Chen

Berada di ketinggian 1100 meter hingga 2600 meter di atas permukaan laut, Aowanda…

Rose Chen

Terletak di kota Renai di Nantou, Taiwan Tengah, Qingjing Veterans Farm (Foggy Eden) terbuka…

Rose Chen

Ketika roti tawar bersisa atau ketika tidak ada yang mau makan bagian tepi roti yang lebih keras…

Rose Chen

Saya pernah mencoba memakai baju “cheongsam”. Seorang teman di gereja mengatakan bagus…

Rose Chen

Donat Ayam (untuk 12 buah)

resep oleh: Sandy Law

Bahan:

250 gr…

Rose Chen

"Mengapa kamu wajib menonton film The Untamed di Netflix". Saya sedikit terkejut membaca twit…

Aldus Tolvias

Sebenarnya sup ini saya masak dengan panci khusus yang tidak perlu penambahan air. Jika…

Rose Chen

Pada suatu hari yang membosankan di tahun 2019, sebelum pandemi menyerang dunia, saya mencoba…

Aldus Tolvias