Dari Falsafah Minang ke Masalah Kata, Lewat Tontonan Sidang MKD

I

Karena saya orang Minangkabau, saya menyukai petatah-petitih Minang. Sebagian saya pahami maknanya, sebagian yang lain tidak. Tetapi petatah-petitih yang mengajarkan falsafah hidup berikut ini kerap terlintas dalam pikiran saya, dan terkadang mengingatkan saya untuk mencari tahu tentang sesuatu.

Panakiak pisau sirauik
Ambiak galah batang lintabuang
Silodang ambiak ka nyiru
Satitiak jadikan lauik
Sakapa jadikan gunuang
Alam takambang jadi guru

Baris pertama, kedua, dan ketiga itu adalah sampiran. Baris keempat, kelima, dan keenam adalah isi (gagasan/pesan/nasihat/peringatan yang disampaikan). Baris keempat, kelima, dan keenam itu bermakna; Air setitik jadikanlah laut -- (Tanah) sekepal jadikanlah gunung -- Alam terkembang jadikanlah guru (belajarlah dari apa saja yang ditemui dan dialami dalam kehidupanmu). Orang yang bertakwa sering berkata “ambil hikmahnya”, petiklah makna/pelajaran ataupun manfaat dari sesuatu, termasuk pengalaman buruk sekalipun.

II

Menonton televisi bersama beberapa orang sering menjadi pengalaman buruk bagi saya. Obrolan dan komentar yang diucapkan sebagai tanggapan untuk isi siaran televisi sering mengganggu saya. Ia membuat sebagian dari ucapan orang yang ada dalam tayangan itu tidak terdengar jelas atau luput dari perhatian.

Itulah yang terjadi ketika saya dengan beberapa kawan menonton siaran televisi tentang sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang menimbang perihal etika Ketua DPR --sebelum mengundurkan diri-- Setya Novanto. Ada kawan yang terlalu aktif menanggapi isi tayangan itu. Dari mulutnya sering terdengar suara “aaaaa”, “uuuuu”, “eeeee”, dan “mmmmm” yang diikuti kalimat berupa komentar.

III

“Aaaaa”, “uuuuu”, “eeeee”, dan “mmmmm” mengisyaratkan makna, dan makna yang tertangkap pada saat menonton televisi itu hampir semuanya bernada kesal, mencemooh, dan juga mengisyaratkan tidak setuju. Artinya, bunyi “a”, “u”, “e”, dan “m” yang disuarakan secara panjang dengan irama tertentu/spesifik itu adalah perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran. Perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang digunakan dalam berbahasa, diucapkan maupun ditulis, adalah unsur bahasa yang disebut sebagai “kata”.

Berdasarkan panjang-pendeknya bunyi (yang disuarakan), dikombinasikan dengan irama (intonasi atau tekanan, semangat menyuarakannya) vokal berikut ini membawa berbagai makna.

A ----- kesal, protes, tidak puas

+ Yang kecil ini?
- Aaaaaaaa ... Bukan! Yang lebih besar!

I ----- kesal, tidak suka, jijik, tidak setuju

+ Coba lihat itu.
- Iiiiiiiiiii ... Nggak mau! Nanti aku nggak bisa makan.

+ Maaf, saya lupa membawakan buku kamu.
- Iiiiiiiii ... tuh, kan ... Padahal aku perlu buku itu sekarang.

U ----- mengejek, menertawakan

+ Kalau saya yang mengajak, dia pasti mau.
- Uuuuu ... Kalau dia mau, potong kuping saya.

E ----- heran, tidak setuju, mengingatkan (dengan nuansa marah), mencegah

+ Kelingking kakiku bengkak.
- Eeeeee ... Kenapa? Kamu kesandung?
+ Kamu yang menyebarkan rumor itu.
- Eee ... Kamu jangan menuduh sembarangan!
+ Saya berangkat sekarang.
- Eeeee ... tunggu dulu. Masih hujan.

O ----- paham, baru tahu, heran, sadar bahwa tadinya keliru

+ Saya sekarang ditempatkan di cabang Tanjung Priok.
- Oooo ... Saya kira kamu masih di kantor pusat.
+ Saya tidak meminta agar mobil Anda dipindahkan. Cukup mundurkan saja sedikit.
- Oooo ... OK.

Juga demikian dengan konsonan “m”.

M ----- tidak percaya, meremehkan, maklum, berpikir

+ Besok semuanya bisa saya selesaikan.
- Mmmmm ... Mana mungkin?!
+ Kedua anak saya sudah menikah.
- Mmm ... syukurlah.

Karena ingin tahu, apakah a, i, u, e, o, dan m, terdaftar sebagai kata, saya pun membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam jaringan. Ternyata hanya “e” dan “o” yang dinyatakan sebagai kata: partikel.

Menurut KBBI;

Selain sebagai huruf ke-5 abjad Indonesia; nama huruf; dan penanda ke-5 dalam urutan atau terendah (tentang mutu, nilai), vokal “e”/é dinyatakan sebagai kata seru --partikel-- untuk menarik perhatian, mengingatkan, dan memanggil.
Vokal “o”, selain sebagai huruf ke-15 abjad Indonesia; dan nama huruf, dinyatakan sebagai partikel dalam bahasa percakapan yang dibunyikan sebagai “oh”.

Jika di dalam KBBI ada “oh” untuk “o”, kenapa tidak ada “ho”, tidak ada “ah” dan “ha” untuk “a”, “eh” dan “he” untuk “e”, “uh” dan “hu” untuk “u”, serta “ih” dan “hi” untuk “i”? Bagaimanapun “ho”, “ah”, “ha”, “eh”, “he”, “uh”, “hu”, “ih”, dan “hi” (A, I, U, E, O, dan juga M, berdasarkan durasi disuarakan serta iramanya) adalah perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang digunakan dalam berbahasa.

Kawan-kawan pemerhati bahasa, yang mempelajari bahasa sebagai bidang studi, dan para ahli, kiranya dapatlah memberikan pendapat atau sekadar berkomentar. Jangan-jangan saya mengada-ada. Mmmm ... tentu saja karena saya tidak tahu banyak seluk-beluk atau ikhwal kata.

Catatan : Tulisan ini sebelumnya muncul sebagai note di akun facebook penulis.

Colage

 

Tambah komentar baru

Teks polos

  • Tidak ada tag HTML yang diperbolehkan.
  • Baris dan paragraf baru akan dibuat otomatis.

Baca juga tulisan sebelumnya:...

Rose Chen

Hari pertama di Chiang Mai dimulai dengan shopping di Maya Lifestyle Shopping Center...

Rose Chen

Pulau Keelung (Keelung Islet) adalah pulau kecil yang terletak lima kilometer dari...

Rose Chen

Di Taiwan sayur paku sarang burung adalah kegemaran orang lokal. Biasanya mereka tumis dengan...

Rose Chen

Mungkin banyak yang belum pernah makan umbi bunga lily (bunga bakung). Umbi bunga lily bisa...

Rose Chen