Kami tiba di bandara Tambolaka, Sumba Barat Daya pada pertengahan bulan Maret 2017. Mobil penjemput dari Rumah Budaya Sumba-- tempat kami akan menginap selama di Sumba-- juga menjemput dua tamu lain yang satu pesawat dengan kami dari Denpasar, Bali. Ternyata mereka adalah arsitek yang membantu merancang desain Rumah Budaya Sumba dan kali ini bertugas mengumpulkan foto-foto arsitektur, tempat wisata dan acara adat Sumba untuk melengkapi buku tentang Sumba yang sedang disusun oleh team mereka.
Salah satu kekayaan budaya Sumba adalah rumah-rumah tradisionalnya dengan bentuk khas atap menjulang tinggi. Bagian atas rumah ini disusun dari ikatan alang-alang (rumbia) tanpa menggunakan paku. Rumah tradisional di Sumba bukan hanya dibangun untuk tempat tinggal saja, namun setiap sudut dan bagian memiliki makna filosofis dan menjadi simbol warisan leluhur. Rumah adat Sumba biasa disebut Uma Bokulu atau Uma Mbatangu. Uma Bokulu berarti rumah besar dan Uma Mbatangu berarti rumah menara.
Setiap rumah adat dibagi menjadi tiga bagian yaitu menara rumah, bangunan utama, dan bagian bawah rumah. Menara rumah menjadi simbol bagi para roh yang memiliki kedudukan tinggi. Bagian bangunan utama menjadi simbol tempat pemujaan sekaligus tempat hunian. Pada area inilah aktivitas keseharian dilakukan. Dapur atau perapian berada di bagian tengah rumah di antara empat pilar utama. Bagian bawah menjadi tempat hewah peliharaan dan roh jahat.
Atap yang menjulang tinggi seperti menara, bahkan ada yang mencapai ketinggian 30 m, melambangkan hubungan harmonis manusia dengan roh para leluhur Marapu (Sang Khalik). Fungsi lain dari menara tinggi itu adalah untuk tempat penyimpanan persediaan bahan makanan dan juga benda-benda berharga si pemilik rumah. Semakin tinggi menara yang dibuat, menandakan bahwa si pemilik semakin makmur dan secara tidak langsung menjadi lambang kesombongan, menunjukkan seberapa tinggi gengsi si pemilik rumah. Acara peresmian masuk rumah dilangsungkan hingga berhari-hari lamanya. Semakin tinggi menara dan semakin luas rumah tersebut, pesta peresmian juga akan semakin lama.
Bagian atap juga dilengkapi dengan tiang kayu berukiran, yang membedakan antara pintu lelaki—digunakan kepala rumah tangga atau bapak saat masuk atau ke luar rumah—dan pintu perempuan—dipakai wanita atau ibu untuk akses ke dapur.
Rince, pemandu kami dari Rumah Budaya Sumba menjelaskan bahwa setiap rumah tradisional memiliki empat pilar besar di setiap sudut. Keempat pilar tersebut melambangkan empat penjuru mata angin. Tiap pilar dilengkapi dengan cincin dari kayu atau batu yang melambangkan lingga dan yoni (organ kelamin pria dan wanita), dihubungkan dengan aspek kesuburan atau fungsi seksual pria dan wanita.
Selain empat sudut dengan tiang penyangga tersebut, ada juga dua tiang utama di ruang tamu. Tiang induk pertama adalah simbol dari ayah dan ibu. Tiang-tiang itu dihiasi dengan ornamen-ornamen yang menggambarkan kearifan dalam tradisi Sumba. Ornamen utama berupa pahatan bermotif buaya dan penyu. Kedua binatang ini sangat dihormati dan disayangi dalam masyarakat Sumba. Buaya merupakan simbol keperkasaan, ketekunan, dan keberanian. Sedangkan penyu adalah simbol kelemahlembutan dan rasa rendah hati.
”Penyu betina, sekali bertelur mengeluarkan puluhan butir. Dengan tenang, penyu itu lalu menutupi lubang telur dengan pasir. Dalam diam dan hening ia meninggalkan telur-telur itu hingga menetas. Sedangkan ayam hanya bertelur satu butir tapi terus berkotek untuk memperkenalkan anaknya ke seluruh kampung. Ini memiliki filosofi hidup yang sangat dalam bagi masyarakat Sumba,” kata Rince.
Ornamen lain yang biasanya dijumpai dalam rumah penduduk Sumba adalah patung kuda, tenun ikat, dan ayam. Kuda merupakan binatang kesayangan orang Sumba. Tenun ikat adalah simbol kehadiran marapu dalam setiap benang yang ditenun oleh para wanitanya dalam bentuk motif manusia, hewan maupun tumbuhan. Tiap motif bermakna simbolis. Tulang babi atau tanduk kerbau biasanya digantung di bagian depan rumah untuk menunjukkan bahwa si pemilik rumah telah memotong hewan ternak sebagai penanda kedudukan status sosial di masyarakat. Selain model atap atau menara rumah yang khas, biasanya di depan rumah juga ada pelataran terbuka tempat dilangsungkannya berbagai atraksi ketika ada perayaan.
Pemakaman di Sumba
Di depan rumah tradisional Sumba biasanya ada batu kubur megalitik tempat anggota keluarga yang sudah meninggal disemayamkan. Dalam satu batu kubur dapat ditempatkan beberapa anggota keluarga karena di bagian dinding samping atau belakang, batu penutup dapat digeser dan dibuka kembali kelak jika ada anggota keluarga inti yang meninggal lagi.
Menurut ahli geologi, Sumba merupakan salah satu tempat yang masih memiliki kebudayaan megalitik dan hingga kini masih tetap dijalankan. Batu kubur berbentuk lempengan besar diletakkan di atas empat tiang batu mirip sebuah altar dengan tinggi kurang lebih 1,5 meter.
Jenis batu yang terkenal yang digunakan untuk batu kubur adalah batu Tarimbang, dari pantai Tarimbang di Sumba Timur. Harganya sangat mahal karena mirip batu marmer atau pualam. Berhubung batu kubur untuk makam harganya sangat mahal, sekarang ini banyak kuburan keluarga yang dibuat dari semen, ada yang tetap menggunakan batu besar sebagai penutup dan hanya dinding makam yang dari semen.
Menurut Pater Robert Ramone CSsR dalam bukunya, Sumba The Forgotten Island, untuk mendapatkan batu kubur itu masyarakat terlebih dahulu mengadakan upacara Tingi Watu (tarik batu) dan sebelumnya mereka akan minta izin dulu kepada Marapu, roh pemilik atau penjaga batu itu.
Upacara pertama yang dilakukan disebut Pogo Watu, ritual di tempat pemotongan atau penggalian batu. Imam Marapu akan memimpin upacara dengan mempersembahkan ayam, sirih pinang, dan beras kepada roh pemilik batu agar pemilik merestui acara penarikan batu tersebut. Perlu ratusan orang dan waktu beberapa hari untuk memindahkan batu yang sangat berat itu hingga tiba di lokasi yang ditentukan. Upacara ini jelas butuh biaya yang sangat besar karena selama upacara diperlukan juga persembahan berupa kerbau, babi, kuda, dan lain sebagainya. Hanya orang-orang tertentu saja yang betul-betul mampu melaksanakan upacara tarik batu ini.
Setelah upacara tarik batu, akan dilakukan upacara terakhir yaitu menata kuburan sesuai dengan permintaan si pemilik. Biasanya diletakkan ornament-ornamen tertentu sebagai simbol yang dihubungkan dengan perjalanan menuju ke surga atau Praing Marapu dalam bahasa Sumba.
Baca juga: Rumah Budaya Sumba dan Pasola
Baca juga: Sumba Barat dan Sumba Tengah
Baca juga: Pesona Kampung Adat Sumba
Baca juga: Pantai-Pantai Indah di Sumba
Tambah komentar baru