Kampung adat ada di beberapa kabupaten di Sumba. Untuk mengetahui lebih banyak tentang adat istiadat dan kebudayaan penduduk Sumba, bagaimana penduduknya hidup di perkampungan yang jauh dari kota, kami mengunjungi dua kampung adat di Sumba Barat yakni: Ratenggaro dan Prai Ijing. Di sana kami melihat langsung suasana keseharian penduduk setempat dan berinteraksi dengan mereka.
Ratenggaro
Kampung adat Ratenggaro berada di kawasan tepi pantai berpasir putih dan gemuruh gelombang ombak besar pantai selatan, di desa Umbu Ngedo, Kabupaten Sumba Barat Daya, berjarak sekitar 56 km dari kota Tambolaka. Butuh waktu tempuh satu setengah jam untuk tiba di Ratenggaro meskipun jalan sudah beraspal tapi kendaraan tidak bisa melaju dengan cepat.
Memasuki areal Ratenggaro, sensasi magis langsung terasa. Sepanjang jalan masuk ke kampung, deretan kuburan batu tua terlihat berjejer yang merupakan peninggalan zaman megalitikum sekitar 4500 tahun yang lalu. Ratenggaro berasal dari kata Rate yang artinya kuburan dan Garo adalah sebutan untuk penghuni desa yang yang dulunya berada di sana. Arkian, ketika terjadi perang antarsuku, orang-orang Garo dikalahkan oleh suku pendatang dan jasadnya dikuburkan di tempat itu. Ada sekitar 304 buah kubur batu yang berbentuk unik dan terpahat dengan rapi. Bentuk kubur batu menyerupai altar, besar dan kokoh.
Selain memiliki kubur batu terbanyak, rumah adat di Ratenggaro juga terkenal karena keunikan menara yang menjulang tinggi hingga mencapai 15 meter. Tinggi menara rumah adat di kampung lain hanya sekitar 8 meter. Rumah adat Ratenggaro berbentuk rumah panggung yang terdiri dari empat tingkat. Tingkat paling bawah untuk hewan peliharaan, tingkat kedua untuk tempat tinggal pemilik rumah. Tingkat ketiga untuk tempat menyimpan hasil panen dan di atas tempat memasak terdapat sebuah kotak tempat penyimpanan benda keramat. Tanduk kerbau sebagai simbol kemuliaan diletakkan pada tingkat paling atas.
Gempuran ombak yang ganas dari laut selatan membuat dinding karang tergerus abrasi dan pinggir laut semakin mendekati lokasi batu kuburan tua. Awal bulan Juni tahun 2011 terjadi kebakaran besar di Ratenggaro dan 13 rumah adat dilalap api. Atas inisiatif Pater Robert Ramone, CSsR dan didukung oleh bantuan dana dari Yayasan Tirto Utomo, pada bulan Agustus 2011, rumah adat berhasil dibangun kembali dengan didahului ritual adat Marapu.
Di kampung adat kami melihat penduduk setempat yang sedang menumbuk beras, ada yang duduk santai mengunyah sirih pinang, bercengkrama dengan anak-anaknya. Ada pula yang menjajakan kerajinan ukiran kayu dan kain tenun untuk tamu yang mampir. Beberapa penduduk bersedia diajak berfoto bersama. Anak-anak kecil terlihat sangat gembira. Ketika itu hanya kelompok kami saja yang berkunjung ke Ratenggaro.
Di beberapa kampung adat dan lokasi wisata tertentu, pengunjung diminta untuk mengisi buku tamu. Ini artinya kita wajib menyumbang (tidak ditentukan nominal sumbangan) untuk penduduk setempat yang kita kunjungi. Tulislah jumlah sumbangan yang diberikan dalam buku tamu tersebut.
Prai Ijing
Sehari setelah menyaksikan upacara pasola di daerah Wanokaka, kami mengunjungi kampung adat Prai Ijing yang terletak di desa Kodaka, Kecamatan Waikabubak. Prai Ijing mudah dijangkau, hanya berjarak sekitar 3 km dari kota Waikabubak, jalan beraspal bagus namun belum ada transportasi umum ke kampung ini. Mulai dari 500 meter jalan menanjak menuju ke kampung sudah tampak deretan batu kuburan yang berjejer sepanjang jalan. Di bukit kami sempat tersesat karena ada beberapa persimpangan yang semuanya bisa dilalui oleh kendaraan roda empat dan tidak ada petunjuk arah ke Prai Ijing.
Jalan di dalam perkampungan masih jalan tanah dan berundak-undak karena kampung berada di atas bukit bertingkat tiga. Dari tingkat paling atas bisa melihat keseluruhan kampung dengan latar belakang pemandangan yang sangat indah. Kampung Prai Ijing tampak lebih modern dari Ratenggaro. Ada beberapa tiang yang dipasang untuk solar cell dan beberapa rumah sudah mendapat pasokan listrik. Penduduk sudah menggunakan pompa air dan ada banyak pipa air untuk mengalirkan air bersih ke rumah. Sudah ada kamar mandi permanen yang dibangun dari batu bata dan semen.
Ada beberapa anak kecil dan remaja yang mengerumuni kami ketika berada di sana karena sekolah diliburkan untuk acara pasola yang digelar sehari sebelumnya. Mereka senang sekali diajak berfoto dan dibagikan sedikit biskuit bekal yang kami bawa. Ada seorang ibu yang sedang menumbuk padi di lesung di depan rumahnya. Beliau tidak keberatan ketika kami pinjam alunya dan mencoba menumbuk. Kegiatan sehari-hari para wanita di Prai Ijing biasanya adalah mengasuh anak, menumbuk padi, memasak dan menenun kain. Kaum lelaki menanam padi, jagung dan umbi-umbian di sawah atau ladang.
Baca juga: Rumah Adat dan Pemakaman di Sumba
Baca juga: Sumba Barat dan Sumba Tengah
Baca juga: Rumah Budaya Sumba dan Pasola
Baca juga: Pantai-Pantai Indah di Sumba
Tambah komentar baru