Lagi, seorang kawan pergi: Tarman Azzam … Dia wafat akibat serangan jantung ketika berkunjung ke Ambon, Jumat, 9 September 2016 pagi. Kata orang, kematian pada hari Jumat adalah kematian yang baik. Semoga demikian adanya bagi kawan saya ini ...
*
Tarman adalah sahabat lama saya. Kami sama-sama mengikuti pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) di kantor IPMI Pusat, Jl. Kramat VIII No. 4 (sekarang Jl. Jamrud), Jakarta Pusat, pada awal 1970-an. Dia waktu itu mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi/Lembaga Administrasi Negara (STIA/LAN), saya mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pada masa pelatihan itu, kami --bersama A. Samsuddin, Ignatius Sukardjasman, dan Hidayat-- menyusun buku Pemilihan Umum 1971: Seri Berita dan Pendapat yang kemudian diterbitkan Lembaga Pendidikan dan Konsultasi Pers (LPKP). Pelatihan jurnalistik itu pulalah yang kemudian (1971) membawa kami menjadi reporter Harian Kami, yang berkantor di sebelah kantor IPMI Pusat. Ketika saya kemudian pindah ke suratkabar Pedoman, Tarman tetap di Harian Kami. Dia sebelumnya menjadi reporter untuk bidang Hankam, kemudian menjadi wartawan kepresidenan untuk Harian Kami. Oleh Pedoman saya juga ditugaskan sebagai wartawan kepresidenan.
Kami memperoleh pengalaman yang sama pada masa awal bekerja di media. Harian Kami dan Pedoman dilarang terbit setelah Peristiwa 15 Januari 1974, bersama sepuluh media lainnya. Beberapa bulan setelah pembreidelan itu saya dan Tarman sama-sama bekerja di Redaksi Radio Pendidikan Pemuda (siaran untuk remaja putus sekolah) kerjasama Radio Arief Rahman Hakim (ARH) dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) dengan dukungan Friedrich Naumann Stiftung, lembaga nirlaba dari Jerman Barat.
*
Jenazah Tarman sampai di Jakarta Jumat (9/9) bersamaan dengan turunnya senja. Saya melayat. Dalam perjalanan ke rumah duka --Jl. Wijaya Kusumah III/3 No. 118, Klender, Jakarta Timur-- berbagai kenangan lama terlintas dalam ingatan saya.
Pada suatu tengah hari setelah pembreidelan (1974), saya datang ke tempat tinggal Tarman, ruangan belakang Kantor IPMI Pusat. Dia sedang mencuci pakaian. “Habis ini, temanin aku ke Sekneg, ya,” katanya. Yang dia maksud adalah kantor Sekretariat Negara, waktu itu di Jl. Merdeka Barat, tempat wartawan istana biasa berkumpul (di ruangan Humas). “Ngapain?” saya bertanya. “Ambil beras,” kata Tarman. Pada waktu itu wartawan kepresidenan mendapat bantuan beras sebulan sekali dari Sekneg, kalau tidak salah 25 kg (saya tidak tahu persis, karena tidak pernah mengambil jatah itu). Saya bertanya, “Masih dapat?” “Dapatlah ... Pak Dipo kan orang baik,” katanya. Pak Dipo adalah G. Dwipayana, Kepala Humas Sekneg waktu itu.
Maka kemudian berangkatlah kami ke Jl. Merdeka Barat naik helicak, dan kembali ke Jl. Kramat VIII membawa beras sekarung kecil, juga dengan helicak. “Mau ke mana kita?” kata Tarman sesampai di tempat tinggalnya, “kau ada duit?” “Ada ... Nggak tahu, mau ngeluyur ke mana,” kata saya. “OK ... saya masak nasi dulu,” katanya. Berasnya adalah beras yang baru saja diambil dari Sekneg itu. Selagi dia di dapur, saya periksa meja dan rak di kamar Tarman. Tak ada apa pun yang namanya makanan. Hanya ada biskuit, cemilan yang sering dia bawa ke mana-mana beberapa keping karena dia sakit maag. “Man ... Saya keluar sebentar,” kata saya, pamit. “Ke mana?” katanya. “Saya beli lauk di rumah makan Saiyo yang di seberang itu,” kata saya. “Jangan!” katanya. Jangan? Lantas dengan apa nasi yang dia masak itu akan dimakan? “Di dapur ada kerupuk dan kecap,” katanya. Mungkin waktu itu kening saya berkerut, dan saya melihat dia dengan heran. Tarman tertawa, dan berkata, “Kau harus merasakan bagaimana rasanya makan nasi pakai kerupuk dan kecap sehabis kena breidel.” “Ah ... tunggulah sebentar,” kata saya. Tapi dia serius. Dia dorong-dorong saya kembali ke belakang ketika saya sudah jalan di gang samping untuk pergi ke Jl. Kramat Raya membeli lauk. “Jangan ngototlah,” katanya, “siang ini, nasi dan krupuk, dan kecap!” Saya mengalah. Kami akhirnya makan siang hanya dengan kerupuk dan kecap. Sambil tertawa-tawa selagi makan Tarman berkata, “Ini bahan cerita kita kelak pada anak dan cucu.”
*
Sebetulnya banyak kisah suka-duka lainnya yang menurut Tarman akan jadi bahan cerita kelak pada anak dan cucu, termasuk cerita ketika dia baru datang di Jakarta. Dia menyelipkan ijazah SMA-nya di balik singlet dan dia bawa ke mana-mana ketika dia diajak oleh teman-temannya di Asrama Mahasiswa Bangka melihat-lihat Jakarta pada hari-hari awal dia masuk Ibu Kota. “Aku takut ijazah itu hilang. Itu modal satu-satunya di Jakarta. Meninggalkannya di asrama pun aku khawatir,” katanya.
Kawan ini adalah orang yang rajin menyimpan kenangan. Dia gemar membaca riwayat orang-orang terkenal, dan menghafal kutipan dari tokoh yang riwayatnya pernah dia baca. Begitu juga dengan beberapa sajak Chairil Anwar, dan lagu-lagu Sam Saimun. Dia bukan perokok. Pembawaannya cenderung riang dan kadang-kadang dia berbicara dengan bahasa Indonesia Pujangga Baru dengan intonasi yang sengaja dia buat seperti tengah membaca puisi. Ketika kami berjumpa pada acara syukuran Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) setelah H. Harmoko diangkat menjadi Menteri Penerangan, 1983 (saya lupa bulan apa), Tarman memperkenalkan isterinya pada saya dengan bahasa sastra Pujangga Baru itu. “Sahabatku,” katanya, “ini isteriku ... Kau adalah satu-satunya teman yang amat sering aku ceritakan padanya.”
*
Sehabis di Radio Pendidikan Pemuda ARH-LP3ES kami memang sangat jarang bertemu. Tarman di Harian Terbit. Saya --sesudah menerbitkan suratkabar kampus UI, Salemba-- bekerja untuk jurnal Prisma, menerbitkan majalah berita mingguan FOKUS, bekerja untuk majalah TEMPO, ke Prisma lagi (1985), dan tahun 1992 ke Harian Ekonomi Neraca. Tarman aktif di kepengurusan PWI (menjadi Ketua PWI Cabang Jakarta Raya, kemudian menjadi Ketua Umum PWI Pusat, dan terakhir menjadi Ketua Penasihat PWI). Saya tidak berbakat jadi aktivis organisasi ...
Pada tanggal 4 September 2015 dia mengirim SMS. “Mari kita reuni,” begitu pembukaan SMS itu. Berikutnya, dia menanyakan alamat saya karena dia akan mengirim undangan pesta pernikahan anaknya, Iskandar, pada 17 Oktober 2015 siang di Puri Ardiyagarini, Halim Perdanakusuma. Saya bersalah karena saya baru ingat membalas SMS itu lebih dari sebulan kemudian, 11 Oktober. Saya minta maaf, dan mengatakan bahwa tak perlu mengirim undangan, karena dalam SMS-nya sudah ada waktu dan tempat resepsi yang dimaksud. Tarman menjawab, “Oke. Tks. Saya kini di Sabah, Malaysia Timur sejak tadi malam selepas acara nikah anak saya. Apa pun yang terjadi, kita tetap sahabat.”
Kalimat penutup SMS itu membuat saya tertegun dan ingat pada dialog telefon dengan Tarman pada tahun 1994. Masa itu adalah masa sesudah majalah TEMPO dilarang terbit, dan berdirinya Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam menghadapi keadaan pada masa itu kami berbeda sikap. Saya berpikir, apakah Tarman merasa bahwa saya tidak lagi menganggap dia sebagai sahabat.
Saya lupa tanggal berapa terjadinya dialog lewat telefon itu, pada suatu subuh (sebelum pukul 04:30). Dia menanyakan, benarkah beberapa wartawan anggota AJI masuk dan saya terima bekerja di Harian Ekonomi Neraca. Saya tanya, dia tahu dari mana. Dia bilang, ada laporan yang masuk. Juga dia katakan, ada media yang melapor bahwa saya membajak wartawannya. Saya katakan, benar. Saya menerima tujuh wartawan baru, di antaranya anggota AJI, tetapi saya tidak membajak. Ketujuh wartawan ini datang membawa lamaran, dan karena kualifikasinya memungkinkan, saya menerima mereka. Tarman meminta saya untuk membatalkan penerimaan wartawan baru itu. Saya mengerti, dia bicara begitu sebagai pengurus PWI. Kepada dia saya katakan, tidak usah risau oleh adanya anggota AJI di Harian Ekonomi Neraca. Saya pemimpin redaksi dan penanggungjawab. Apa pun yang muncul di Harian Ekonomi Neraca menjadi tanggungjawab saya. Tarman menjawab, “Aku tak mau, kau diapa-apakan orang.” Saya mengerti apa yang dimaksud dengan “diapa-apakan orang” ... Saya katakan, risiko seperti itu sudah saya perhitungkan.
Terus terang, dialog sekitar 40 menit itu agak sengit. Kami tetap pada pendirian masing-masing. Di akhir pembicaraan Tarman berkata, “Aku menyampaikan ini sebagai sahabat, dan kewajiban aku sebagai sahabat sudah aku lakukan.” Saya jawab, bahwa saya tak pernah mengubah persahabatan, dan tidak mencampur-baurkan persahabatan dengan urusan yang lain, termasuk sikap politik. Saya katakan, “Aku mempercayai kau sebagai sahabat, juga aku percaya bahwa kau tetap percaya padaku.” Tarman terdiam beberapa detik, dan kemudian dia berkata, “Kapan-kapan kita ngobrollah.” Saya bilang, atur saja waktunya. Seingat saya, kami pernah sekali pergi makan siang bersama di daerah Harmoni, selang beberapa tahun sesudah kejadian itu. Tapi suasana sudah berbeda. Rejim sudah berganti. Kemudian, kami jarang lagi bertemu. Tahun 2008 Tarman pernah menelefon saya menanyakan kartu anggota PWI saya karena dia sudah harus melepaskan jabatan sebagai Ketua Umum PWI Pusat.
Pertemuan di resepsi penikahan anaknya di Puri Ardiyagarini pertengahan Oktober 2015 itu adalah pertemuan kami yang terakhir. Jumat (9/9/2016) malam di rumah duka, saya “menemui” sahabat saya itu kembali, untuk mengucapkan selamat jalan diiringi doa ... Saya pegang jari kakinya. Kesedihan mengusik perasaan saya melihat dia untuk terakhir kalinya, dalam tidurnya yang panjang.
Catatan: Tulisan ini pertama muncul sebagai "Note" di akun Facebook penulis pada tanggal 10 September 2016.
Tambah komentar baru