Sebelumnya: Reminiscence (Bagian II)
Trivia berasal dari bahasa Latin “trivialis”, artinya fakta sederhana yang tidak penting, yang kita tidak harus tahu. Sebagai orang yang besar di desa dan tiga tahun bekerja di desa sangat terpencil, saya sering heran kalau ada yang tidak tahu seperti apa pohon beberapa jenis tanaman yang sangat gampang dikenal, misalnya pisang, pepaya, mangga, kelapa, belimbing, jambu biji … Saya pernah membaca satu pertanyaan trivia: Pohon apa yang hanya dengan menggambar sebagian kecil batangnya saja, orang bisa tahu itu pohon apa?
Ketika mobil kami melewati perkebunan karet dalam perjalanan ke Sidimpuan, saya meminta pengemudi untuk berhenti sebentar. Saya ingin memotret pohon yang menjadi jawaban pertanyaan trivia itu. Saya juga baru tahu bahwa bagian dalam dari biji karet itu bisa dimakan setelah diolah untuk menghilangkan racunnya. Juga ingin sekali saya mendapat bijinya tetapi tidak beruntung. Tak satu pun yang ditemukan. Apakah semua biji karet diambil untuk dijadikan cemilan?
Perkebunan karet bisa ditemukan di banyak tempat di Sumatera Utara. Banyak sekali kenangan saya tentang karet ini. Semasa kanak-kanak, abang kami suka main adu biji karet dengan teman-temannya - dua biji karet ditumpuk lalu dipukul dengan tangan hingga salah satu pecah, yang menang adalah yang biji karetnya tidak pecah.
Abang punya satu biji karet yang selalu menang. Anak majikan Papa saya rupanya penasaran. Entah apa yang dia katakan sehingga Papa saya meminta abang saya menyerahkan biji karet istimewa itu kepada anak majikannya. Sedih sekali rasanya ketika kami kemudian tahu bahwa si anak itu memecahkan biji tersebut dengan sengaja. Hidup diwarnai kompetisi, ada yang dominan dalam persaingan dan ada yang kalah. Pabila persaingan tak dapat dimenangkan, dapat muncul pikiran melenyapkan si jagoan dengan cara apa saja.
Waktu kecil, saya dan adik saya pernah ikut tetangga kami main ke kampungnya. Di sebelah rumahnya ada kebun karet. Saya dan adik sangat gembira melihat begitu banyaknya biji karet berserakan di tanah di dalam kebun itu dan kami punguti. Tapi berapa banyaklah yang dapat kami masukkan ke saku kami. Tidak kehabisan akal, saya suruh adik saya melepas kaus singlet di balik bajunya. Kami ikat bagian bawahnya sehingga menjadi “tas”, dan kami isi penuh dengan biji karet itu.
Masa kanak-kanak itu berlalu. Selang beberapa tahun kemudian saya bertugas sebagai dokter yang baru tamat di satu desa sangat terpencil di Sumatera Utara. Mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah mengambil getah karet. Pada mulanya saya tidak mengerti bagaimana orang “menderes” pohon karet (menyadap getahnya). Baru di desa itu saya melihat penduduk menyayat kulit pohon karet, tetapi tidak boleh sembarangan. Kalau salah, pohon karet bisa rusak. Getahnya menetes perlahan ke dalam mangkok yang diikatkan ke pohon.
Di situ pula saya kaget dan agak takjub melihat seorang penduduk memanggul sekarung besar karet (getah yang sudah beku) di punggungnya, dari kebun ke desa, melewati jalan berbatu-batu. Ketika saya tanya berapa berat karet yang dia panggul itu, dia menjawab 90 kg.
Karung karet itu kelihatan lebih besar dari tubuh lelaki itu. Kalau dilihat dari belakang, seperti karung berjalan, yang tampak hanya tungkai bawahnya dan sebagian tangan yang memegang karung itu. Kepala dan badannya tidak kelihatan. Berat badannya pun saya yakin lebih rendah dari berat karet yang dia panggul. Kini ikhwal tentang karet dan penyadapnya itu saya tulis sebagai kenangan. Setelah menulis saya mengucek-ngucek mata saya, ingin menghilangkan kesan beratnya kehidupan petani itu yang kembali bermain di mata saya.
Karet pernah menjadi penghasil devisa bagi Indonesia pada awal kemerdekaan, di masa perkebunan peninggalan Belanda masih produktif. Beberapa bulan yang lalu saya membaca berita mengenai harga karet yang naik tetapi penghasilan penderes tidak. Masih adakah kini berkembang gagasan di Indonesia untuk memberi perhatian lebih banyak kepada karet dan petaninya agar kualitas karet terpelihara dan mutu kehidupan para petani serta penyadapnya membaik? Semoga ini tidak sekadar menjadi pertanyaan trivia.
Selanjutnya: Reminiscence (Bagian IV)
Tambah komentar baru