Traveling, Mengapa Tidak?

Waktu kecil jika ditanya apa cita-cita saya, jawaban saya adalah menjadi burung. Pastilah saya belum bisa membedakan antara cita-cita dan impian. Suatu pagi waktu saya baru kelas satu sekolah menengah, saya terbangun dari mimpi ingin keliling Indonesia. Memasuki sekolah menengah atas saya semakin terkesan dengan seragam pilot, dan sering berpikir, "Akh, menjadi pilot itu cool sekali, bisa terbang kemana-mana." Tetapi kemudian saya mengerti, menjadi pilot itu terlalu sulit, karena nilai sekolah yang hanya pas-pasan. Dari pilot, cita-cita turun sedikit menjadi pramugari, tetap bisa terbang.Tetapi itupun kemudian kandas karena saya mulai memakai kacamata akibat kebanyakan baca novel, dan gigi saya juga banyak yang rusak. Selain itu saya hanya bisa tenggelam waktu pelajaran berenang. Akhirnya saya harus puas hanya menjadi penumpang pesawat saja. 

Keinginan untuk “terbang” dan menjalani dunia ini begitu "menghantui". Bagi saya, jalan-jalan bukan berarti kemewahan dan kenyamanan, malah boleh dikatakan 'keluar dari zona nyaman'. Biasanya perjalanan saya lakukan bersama anak-anak. Kami punya banyak cara agar perjalanan 'hemat murah meriah muntah'.

Traveling, Mengapa Tidak

Perjalanan pertama bersama anak-anak adalah ke Singapura dan Malaysia tahun 1999 (sudah lama banget ya...). Dari Medan terbang ke Penang, kemudian naik bus malam ke Singapore. Perjalanan selama 10 jam naik bus antar negara dengan dua anak kecil berumur sembilan dan enam tahun cukup melelahkan. Rasanya baru saja tertidur, sudah dibangunkan dan disuruh turun untuk pemeriksaan passport di perbatasan. Hadohhh… Sekarang, kalau kami naik MRT di Singapura, kami akan tersenyum setiap mendengar kata 'Tanjong Pagar', terkenang masa lalu waktu kami berkunjung dan tinggal satu stasiun setelahnya; jadi bagi kami, Tanjong Pagar artinya bersiap-siap untuk turun.

Setelah petualangan pertama itu, kehidupan membawa kami semua dalam kesibukan masing-masing. Anak-anak sibuk sekolah, orangtua sibuk membanting tulang (kenapa juga tulang dibanting-banting ya) mencari sesuap nasi.

Kami baru bisa mulai menikmati lagi kegembiraan jalan-jalan bersama sejak tujuh tahun yang lalu ketika anak-anak mulai masuk sekolah menengah atas. Kami menyebut perjalanan ini 'mother daughter/son time'. Saya memiliki dua putri dan satu putra, jadi secara bergiliran saya akan bepergian dengan hanya salah satu dari mereka. Selama perjalanan, kami akan bersama 24 jam mulai dari bangun sampai tidur kembali.

Saya kemudian menyadari bahwa perjalanan seperti ini ternyata sangat berharga dan berarti bagi kami. Kami menjadi lebih saling mengerti, saling menghargai, dan lebih mencintai satu sama lain. Kami belajar bersama dari berbagai pengalaman; bagaimana tidur di bandara, ditipu tukang becak di Vietnam, kecurian di Cina, ketinggalan kereta di Paris, kelupaan tanggal berangkat di Belanda, tersesat di Venezia dan salah masuk kereta di Jepang. Kami melihat orang jatuh cinta, menonton opera, pergi ke teater dan museum, naik bus gratis dan berteman dengan orang asing. Semua itu membuat ikatan kami semakin kuat. Bagi saya pribadi, saya merasa menemukan arti dari cita-cita masa kecil... menjadi burung.

Traveling bisa dilakukan siapa saja dengan biaya sehemat-hematnya. Seperti yang dikatakan oleh Paolo Coelho (pengarang fiksi kehidupan dari Belgia), “Traveling is not about money, its about courage”.  Bahkan Dalai Lama juga menganjurkan untuk sekali dalam setahun, pergilah ke tempat yang baru (Once a year go some place you have never been before). Semua itu akan membuat kita lebih menghargai hidup, mencintai negeri sendiri dan menemukan diri sendiri.

Traveling, Mengapa Tidak

Minggu lalu kami baru kedatangan seorang tamu dari Korea, seorang anak muda berusia 27 tahun yang saat ini telah menjalani lebih kurang 50 negara. Dia memulainya dari berjalan kaki dari ujung Korea Selatan menuju perbatasan Korea Utara di usia 22 tahun, tanpa uang sepeserpun. Dalam perjalanan, dia tidur dimana memungkinkan, dan makan apa yang tersedia. Dia memulai perjalanan sendirian dan mengakhirinya bersama puluhan orang lain yang simpatik dan mendukung. Sejak itu dia ada dimana-mana, mendengar dan berbicara bahasa yang berbeda, berbaur dengan orang setempat yang berbeda-beda. Dia bekerja, kemudian traveling lagi atau bekerja sambil traveling. Saat tulisan ini dibuat (Juni 2015) dia sedang berada di Kisaran, lebih kurang 180 km dari Medan, menumpang di rumah abang becak, sambil mengajar bahasa Inggris kepada anak-anak di sana.

Tentu saja ini adalah serial ekstrimnya, hanya segelintir orang yang punya keberanian dan jiwa petualangan yang bersedia melakukannya. Tetapi marilah kita mulai dari berkunjung ke kampung nenek, menghalau burung di sawah sambil menunggu kiriman rantang makan siang. Atau ketiduran di bawah pohon sambil sayup-sayup terdengar suara sapu lidi membersihkan halaman. Bepergian akan menghidupkan kita yang mulai “mati” terjebak oleh rutinitas sehari-hari atau yang semakin banyak diderita manusia sekarang, keterikatan kepada dunia maya.

Jadi, jangan tunda lagi atau 20 tahun kemudian kita akan menyesali apa yang tidak kita lakukan saat ini atau kita bahkan tidak punya 20 tahun itu karena mungkin hanya 10 tahun yang tersisa... siapa tahu ?

Tambah komentar baru

Teks polos

  • Tidak ada tag HTML yang diperbolehkan.
  • Baris dan paragraf baru akan dibuat otomatis.

Awal Maret 2024, untuk merayakan 30 tahun pernikahan kami, saya dan suami memutuskan untuk...

Rose Chen

Baca juga tulisan sebelumnya:...

Rose Chen

Hari pertama di Chiang Mai dimulai dengan shopping di Maya Lifestyle Shopping Center...

Rose Chen

Pulau Keelung (Keelung Islet) adalah pulau kecil yang terletak lima kilometer dari...

Rose Chen

Di Taiwan sayur paku sarang burung adalah kegemaran orang lokal. Biasanya mereka tumis dengan...

Rose Chen