Tulisan ini pertama muncul di linimasa Facebook Penulis tanggal 15 November 2018.
Dahlan Rebo Pahing belajar mengetik di komputer ketika dia berumur 44 tahun dan bekerja di Harian Ekonomi Neraca, sekitar tahun 1996. Rasanya saya bisa memastikan sebelumnya Mas Dahlan juga tidak biasa menggunakan mesin ketik zaman dulu, Brother atau Olivetti yang berisik. Saya baru mengenal dekat Mas Dahlan pada tahun 1995 ketika kami sama-sama bekerja di Majalah Prospek.
Dengan susah payah dia mencari tuts huruf di atas keyboard. Ketika itu, jarinya belum punya mata. Jari yang sangat lincah jika sedang memegang kamera itu, harus dituntun oleh matanya untuk mencari huruf A, huruf B, atau huruf lainnya agar terbentuk sebuah kata, lalu kalimat, lalu caption foto.
Persoalan lain adalah dia juga tidak mahir merangkai kalimat. Boleh dibilang dia baru belajar menulis kalimat untuk dimuat di suratkabar pada saat menulis caption itu. Menuangkan gagasan menjadi kalimat tertulis, padat, ringkas, dan sesuai dengan kaidah untuk caption foto adalah hal baru bagi John, nama lain Mas Dahlan bagi teman-teman dekatnya ketika bekerja di Tempo.
Mas Dahlan membuat caption foto itu sering kali bersama Mas Dibyo, fotografer juga, anak buah Mas Dahlan. Mereka duduk berdampingan di depan layar komputer. Celakanya, Mas Dibyo ketika itu juga belum melek komputer. kemampuan menulis kalimat untuk caption sebelas duabelas juga dengan Mas Dahlan.
Jadi, setiap sore menjelang deadline, setelah memotret di lapangan, di meja fotografer kami sekantor sering melihat pemandangan “indah atau lucu”: dua orang yang tidak mengerti mengetik di atas keyboard komputer dan tidak cakap membuat kalimat bekerja bersama untuk menulis caption foto.
Mungkin mengetik caption adalah penderitaan baru bagi Mas Dahlan. Maklum sejak bekerja sebagai fotografer di Majalah Tempo, lalu majalah Prospek, tugas fotografer hanya memotret dan mencari foto. Mendokumentasikan foto saja bukan tugas fotografer, ada bagian dokumentasi foto sendiri. Apalagi menulis caption foto. Itu tidak ada dalam job description seorang fotografer.
Sebenarnya saya ragu juga apakah pekerjaan menulis caption itu penderitaan bagi Mas Dahlan karena dia tetap saja senyum-senyum. Dia kerjakan semua yang menjadi tugasnya sampai selesai. Sambil tersenyum pula.
Setelah beberapa lama bergabung dengan Harian Ekonomi Neraca, dia lancar saja (pada akhirnya) mengetik dan membuat caption foto. Ledekan dari teman-teman sudah hilang —maklum di lingkungan kami bekerja, kami rajin meledek kawan sendiri untuk memancing ger-geran di tengah kesibukan bekerja.
Saat itu, kamera SLR perlahan sudah mulai beralih menjadi DSLR. Tidak pakai film dan kamar gelap lagi. Banyak teman-teman yang gemar motret “protes pada zaman” pada teknologi baru ini. Mereka menganggap kamera digital tidak menghasilkan gambar setajam yang dihasilkan oleh kamera yang menggunakan film atau slide.
Mas Dahlan tidak begitu. Kamera digital itu, dilihatnya dengan senyum saja. Dia otak-atik sendiri. Dia coba-coba, sampai dia terbiasa menggunakan kamera digital. Tanpa keluhan, tanpa mencela. Dan sebenarnya tanpa bertanya juga. Dia mau bertanya pada siapa, wong dia fotografer paling hebat di kantor tempat kami bekerja. Justru orang lain yang bertanya pada dia
Artinya, Mas Dahlan senang sekali mencoba-coba sendiri, belajar sendiri. Cara Mas Dahlan belajar juga berbeda dengan orang lain. Dia belajar dengan mencoba dan mencoba, tidak membaca manual yang diberikan oleh pabrikan. Juga tak mencari tahu melalui google. Apalagi ketika itu, google belum berbentuk seperti sekarang. Dia trial and error saja. Bahkan sampai dia paham karakter kamera digital. Pengaturan cahaya di kamera selalu dia ubah satu atau dua stop untuk menghasilkan gambar yang bagus.
Begitu juga ketika Mas Dahlan belajar membuat video, perlengkapan baru yang melekat pada kamera digital. Dia belajar sendiri saja. Akhirnya dia mahir menggunakan kamera untuk bikin video. Bahkan, Mas Dahlan juga bisa mengedit video dengan baik di komputer. Kemajuan pesat.
Memang setelah ada YouTube, Mas Dahlan banyak terbantu. Karena Mas Dahlan juga tercatat sebagai murid yang berguru pada YouTube. Nah, jika tak ada di YouTube, baru Mas Dahlan bertanya kalau dia sudah mentok banget. Itu pun bukan soal memotret, walaupun masih ada hubungannya dengan kamera. Jika dia sudah mulai bertanya, pasti jawaban yang diharapkan penting sekali.
Pada suatu hari Mas Dahlan datang ke rumah saya. Dia bilang, dia diminta mengajar fotografi di sebuah perguruan tinggi swasta terkenal di Jakarta Selatan. Ini bidang baru bagi Mas Dahlan. Saya belum pernah mendengar sebelumnya Mas Dahlan berbicara di depan orang banyak, apalagi mengajar.
Jadi, sebenarnya saya rada bingung juga mendengarnya. Saya tidak meragukan kemampuan mas Dahlan sebagai fotografer. Tapi, saya tak berani membayangkan bagaimana dia harus berdiri di depan kelas setiap pekan memberikan kuliah 2 SKS kepada mahasiswa. Mas Dahlan yang pendiam, yang hanya bicara seperlunya, saya sukar membayangkannya menjadi dosen. Mungkin saya under-estimate.
“Mau bikin power point,” kata Mas Dahlan kepada saya, tetap diiringi senyumnya.
Seperti biasa, Mas Dahlan santai saja. Dia menyiapkan diri dengan baik dan sepenuh hati. Dan, tak lupa selalu senyam-senyum mengerjakannya.
Akhirnya saya dan Mas Dahlan membuat bahan presentasi dengan power point untuk bekal dia mengajar. Saya dan Mas Dahan menyiapkan jumlah halaman yang banyak sekali untuk presentasinya. Jadi, jika Mas Dahlan tiba-tiba “hang” pada saat mengajar, dia bisa membacakan slide saja. Sehingga presentasi tetap berlangsung.
Mas Dahlan mungkin tidak menemui masalah yang sulit di depan kelas sebab dia tidak menghubungi saya lagi. Saat bertemu lagi, saya bertanya kepada Mas Dahlan,”Bagaimana Mas, mengajarnya?”
Seperti biasa dia menjawab dengan senyum-senyum, sambil berkata, “Biasa aja.”
Kayaknya Mas Dahlan menikmati juga peran sebagai pengajar. Jauh hari setelah itu, dia juga bercerita akan mengajar fotografi bagi staf kedutaan Indonesia di Jordania. Jauh banget, kan? Saya lihat foto dia sedang mengajar di Jordania melalui Facebook. Terlihat wajah senang para peserta pelatihan. Itu pertanda bahwa Mas Dahlan menyenangkan ketika mengajar. Perjalanan ke Jordania ini, juga dimanfaatkan Mas Dahlan untuk ibadah umroh bersama istrinya.
Begitulah Mas Dahlan, dia fotografer yang mencoba menularkan pengetahuan fotografinya pada orang lain. Dan dia melakukannya dengan diiringi senyum.
Selain memotret, Mas Dahlan juga hobi bersepeda. Kami sering bersepada bersama pada hari Minggu, Perjalanan lumayan jauh, sampai ke kota tua. Bahkan ada masa Mas Dahlan menggunakan sepeda sebagai alat transportasi sehari-hari. Dia datang ke kantor saya di Kebun Nanas, Jakarta Timur, bersepeda dari rumahnya di Cipete Jakarta Selatan. .
Kegiatan memotret dan bersepeda Mas Dahlan jauh berkurang setelah dia mendapat serangan stroke ringan pertama beberapa tahun yang lalu, dan makin berkurang setelah serangan kedua. Dia berhenti total bersepeda setelah frekuensi ke rumah sakit makin sering.
Mas Dahlan memang pulih dari stroke setelah beberapa bulan. Tapi paru-paru dan jantungnya yang mulai bermasalah. Sebagai tanda ikut prihatin kami —Bang Mimar, Herman, Adya, Ulfi, Herry, Siba, Farid, Taufiq, dan saya— menyediakan dua tabung oksigen dan trolinya untuk Mas Dahlan di rumah pada awal tahun 2018 lalu. Kami juga membelikan wireless speaker agar suara Quran yang diputarkan oleh keluarganya terdengar lebih empuk di telinganya, serta sebuah HP untuk menggantikan HPnya yang kebetulan rusak pada saat itu..
Mas Dahlan bukan tidak mampu membeli semua itu. Tapi, ini bentuk perhatian kami yang sayang kepada Mas Dahlan. Dia kelihatan senang menerimanya, juga terharu. Tentu saja terharu sambil senyum-senyum..
Mas Dahlan memang dilahirkan dengan paket senyum dalam jumlah besar. Senyum itu selalu dibagikannya, dan tak pernah habis.
Dan senyum itu tetap tertinggal setelah Mas Dahlan berpulang dan dimakamkan pada tanggal 8 November lalu, 13 hari setelah ulang tahunnya yang ke-66.
Add new comment