Belajar Darimu

Catatan: Tulisan ini pertama muncul di dinding Facebook Penulis pada tanggal 5 Juli 2019. 

“Linda, ntar pilih Bayu ya.”

“Agus, harus pilih Bayu ya.”

Semua teman kuwanti-wanti untuk memilih Bayu. Hanya ada tiga kandidat dan Bayulah yang paling kusukai, walau dia sepertinya lebih suka Mita. Kalau dia tahu aku berjasa besar saat dia terpilih sebagai dirigen orkestra SMA kami, mungkin dia mau mengalihkan perhatiannya padaku.

Aku melihat ke arah Bayu lagi. Linda mencolek lenganku, “Nit, tampaknya Andi bakal menang. Sudah 28 suara. Bayu baru lima.”

“Kamu pilih Andi ya?” Pandanganku tajam menikam.

Linda menjawab pelan, “Sorry, Nit. Menurutku Andi lebih kompeten.”

“Tapi Bayu lebih ganteng, Linda. Seorang dirigen harus ganteng.” Kutahan suaraku agar tidak menjerit. Panas sekali ruangan kelas ini.

Di depan kelas Pak Nando menuliskan total angka perolehan suara ketiga kandidat: Andi 35 suara, Bayu 12 suara, dan Seto 5 suara. Bajuku basah. Entah kepanasan, entah keringat dingin. Suara Pak Nando mengumumkan kemenangan Andi bagai berasal dari balik gunung, bergema. Ruangan kelas seperti dipenuhi sinar matahari yang sangat menyilaukan mata, lalu mendadak kelam.

“Nita, Nita!” Kulihat wajah cemas Linda di atasku. Aku menoleh ke kanan. Mengapa aku di lantai?

“Dia sudah sadar, Pak!” kudengar Linda berkata.

“Pergilah ke kantor. Minta Bu Ningsih ke sini,” perintah Pak Nando pada Linda.

Sore itu saat teman-teman lain latihan, aku duduk makan nasi yang dibeli Andi. Perasaanku campur aduk --marah, kesal, malu, dan sakit hati.

“Ada apa, Nit?” Mama bertanya begitu aku masuk dapur. Pasti Mama punya indera keenam. Aku mengambil air minum dan duduk di meja makan. Mama tersenyum, membuka apronnya, dan berdiri di depanku. Tiba-tiba aku terisak-isak. Kuceritakan semua pada Mama. Harusnya Bayu yang terpilih, Andi itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan Bayu, begitu kataku.

Mama mendengar dengan sabar, menyodorkan selampai*. Aku mengambil selembar, menghapus air mataku. Kuambil lagi dua lembar untuk mengelap ingusku.

“Kalau Bayu begitu hebat, mengapa teman-temanmu memilih Andi?” tanya Mama ringan.

“Kata Linda, dia lebih kompeten,” jawabku sengit.

“Bagaimana menentukan ketiga kandidat itu?” selidik Mama lagi.

“Pak Nando yang pilih. Dia kan paling sayang sama Andi.”

“Masak Pak Nando pilih berdasarkan sayang?”

“Dia pilih tiga nilai tertinggi,” suaraku mulai mengecil.

“Nilai Andi paling tinggi?”

“Iya, Ma.”

Mama diam. Aku termangu membayangkan wajah Andi saat meninggalkanku di depan pintu rumah. “Istirahatlah. Lain kali kalau lupa bawa uang, pinjam sama aku. Jangan sampai tak makan siang.” Aku mengangguk dan menunggu dia masuk ke mobil Mamanya sebelum membuka pintu rumah. Ah, ketua kelas kami itu memang baik dan selalu penuh perhatian. Tak heran dia jadi kesayangan semua guru.

“Dia juga ketua kelas yang sangat baik, Ma. Memang dia lebih pantas menang.”

“Kalau begitu ngapain kamu nangis lagi?” Sambil bangkit dari kursinya, Mama menepuk pipiku. “Sana cuci muka. Sebentar lagi Papa pulang.”

*

Tiga tahun kemudian…

Aku turun dari podium dan berjalan menuju pacarku yang masih bertepuk tangan dengan semangat. Dia menyerahkan seikat bunga. Kubaca kartunya, “Selamat atas terpilihnya Nita Siregar sebagai ketua klub paling populer. Klub renang dengan anggota terbanyak di kampus. Kamu banyak belajar dariku kan? Mantan Ketua Kelasmu, Andi.” Kutinju mesra perutnya. Dia ketawa memperlihatkan kedua lesung pipinya.

*selampai = tisu

Club Award

 

Add new comment

Plain text

  • No HTML tags allowed.
  • Lines and paragraphs break automatically.