Sebelumnya: Reminiscence (Bagian I)
Kami makan siang di sebuah rumah makan di pantai dalam perjalanan menuju Padangsidimpuan. Walau kami banyak tertawa selama di rumah makan itu, pikiran saya sebenarnya berada dalam dimensi lain …
Saya serasa melesat melintasi lorong waktu, bagai tersedot angin puting beliung dan tiba-tiba saja saya sudah menjadi anak kecil. Papa memberikan lidah ikan mas yang digulai pada saya sambil berkata, “Ini Sia, kesukaanmu.” Kita tidak pernah sadar bahwa pada suatu masa yang akan datang, saat ini - detik ini, akan menjadi kenangan yang menggetarkan.
Sepanjang jalan yang kami lalui, baik Neny, kakaknya, maupun pengemudi mobil yang membawa kami, sabar sekali menunggu saya memotret pemandangan zaman now yang dalam memori saya adalah sesuatu dari zaman old. Ada padi yang dijemur di tepi jalan. Ada ayam dalam kurungan bambu di halaman rumah penduduk.
Rumah-rumah ini mengingatkan saya pada suatu hari Minggu bertahun-tahun yang lalu. Di gereja, pendeta menjelaskan aktivitas satu organisasi non-profit di Taiwan yang membantu masyarakat kurang mampu. Dengan proyektor dia memperlihatkan foto saat anggota organisasi itu menyalurkan bahan makanan ke rumah-rumah penduduk yang dinilai “kurang mampu”.
Saya sedih melihat foto-foto itu. Dalam otak saya muncul pertanyaan - Begini yang disebut rumah orang tidak mampu di Taiwan? Terbayang rumah-rumah di berbagai sudut Indonesia yang pernah saya lihat, termasuk rumah di desa terpencil tempat saya ditugaskan sebagai dokter muda sekian tahun silam yang lebih memprihatinkan. Perbedaannya sungguh jauh. Ketika pendeta mempertontonkan foto-foto itu, dalam memori saya juga terbayang rumah-rumah pribadi megah di Indonesia yang jauh lebih banyak dan lebih megah dari rumah pribadi yang megah di Taiwan.
Mengingat semua itu lara bukannya terlipur, melainkan malah membuat rasa sedih kian dalam. Rumah-rumah yang saya saksikan dalam perjalanan menuju Padangsisimpuan membangkitkan kenangan sedih, seperti kesedihan yang menyelimuti saya ketika menonton slide yang diperagakan di gereja sekian tahun yang lalu.
Selanjutnya: Reminiscence (Bagian III)
Tambah komentar baru