Akhir-akhir ini saya membaca di beberapa situs internet yang menyatakan bahwa selama ini kita telah salah mengartikan makna sila pertama dasar negara Indonesia, Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ada pendapat yang beredar bahwa esa artinya bukan “satu”. Pada situs “Apa Kabar Dunia” ada artikel yang menyatakan bahwa Indikasi perubahan arti Esa sebagai “Satu” atau “Tunggal” kemungkinan pada masa pemerintahan Orde Baru.
Tulisan yang senada dapat ditemukan di beberapa situs lain yang kemungkinan besar saling mengutip saja.
Makna sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’
Dalam buku The Oxford Companion to Philosophy diterangkan bahwa “Tuhan” adalah “the Supreme Being and principal object of faith”. Saya mengartikannya sebagai “Keberadaan MahaTinggi dan prinsip dasar objek iman seseorang”.
Siapa “Tuhan” itu berbeda-beda pada setiap kepercayaan, terlalu panjang jika dibahas di sini. Bila anda ingin baca lebih banyak, silahkan klik di sini.
Bagaimana situasi “beragama” bangsa Indonesia pada saat Pancasila itu dirumuskan oleh pemimpin-pemimpin bangsa? Sudah sejak zaman masuknya kepercayaan Hindu di abad kedua, ajaran Konghucu pada abad ketiga, ajaran Budha di sekitar abad keempat dan dilanjutkan dengan masuknya Katolik di abad ketujuh, Islam pada sekitar abad ke 14, serta Kristen Protestan seputar abad ke 16 (catatan penulis : sangat sulit untuk memastikan tepatnya abad keberapa, setiap buku mengatakan lain, tapi secara garis besar, sekitar angka-angka tersebut), dalam diri sebagian besar rakyat Indonesia telah tertanam dalam-dalam “iman” kepada “Tuhan” masing-masing. Pada masa perumusan Pancasila sebagai dasar negara, agama yang terbanyak penganutnya di Indonesia adalah Islam. Tidak heran jika pemimpin-pemimpin bangsa menggunakan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan pertama, landasan utama bangsa, karena ber”Tuhan” adalah salah satu karakteristik utama sebagian besar rakyat Indonesia.
Selanjutnya, mari kita telaah arti kata “Esa”.
Ada banyak sekali kata-kata dalam bahasa Indonesia yang termasuk dalam rumpun bahasa Melayu – Polinesia ini, yang berasal dari bahasa Sansekerta, di antaranya adalah kata “esa”.
esa — “one, only”
Sanskrit: ãsa, “lord, iva"
Mengutip dari tulisan di “Apa Kabar Dunia” :
kutip …. Nyatanya kata “Esa” yang diambil dari bahasa Sanskrit (Sanskerta) tidak mengartikan tunggal, atau satu.
Kata satu dalam bahasa sansekerta adalah EKA , bukan ESA. Lihat saja di semboyan Bhinneka Tunggal IKA. Bukan Bhinneka Tunggal ESA… akhir kutipan.
Jika begitu, mengapa bukan “Bhinneka Tunggal Eka”?
Karena Ika dalam “Bhinneka Tunggal Ika” artinya memang bukan “satu”. Bhinneka Tunggal Ika sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuna. Bhinneka berarti “beraneka ragam”. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti “macam” yang merupakan asal kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti “satu”. Kata ika berarti “itu”. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika berarti “Beraneka Satu Itu”, yang bermakna “meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan”.
Transliterasi (penulisan dari karakter satu bahasa dengan karakter bahasa lain, dalam hal ini, penulisan sanskrit ke abjad latin) ‘eSa’ sendiri bisa berarti banyak hal di antaranya : mempercepat, mencari, meluncur, berlari, harap, pilihan. Sedangkan penulisan eSA artinya this (ini).
Arti lain esa dengan berbagai cara penulisan adalah : this, all this, all these, they, like this, this time, Devahūti , this woman, all of this, she.
Kita semua tahu, bahwa banyak sekali kata-kata dari berbagai suku di Indonesia kita yang tercinta ini sangat mirip satu sama lain. Bahasa Bali dari hujan adalah “ujan”, bahasa Jawa Kuna adalah “hudan”, sedang orang Tapanuli mengatakan “udan”.
Dalam Bahasa Minang (Kabupaten 50 Kota), orang-orang tua dulu berhitung mulai dari “oso” (satu), duo, tigo … dan seterusnya. Bunyi “o” pada suku kata pertama dalam bahasa Minang Kabupaten 50 Kota, adalah bunyi “e” dalam bahasa Melayu (lebih jadi lobiah; depa jadi dopo). Saya yakin, kata “oso” dalam Minang Kabupaten 50 Kota lebih tua dari pidato Soekarno (1 Juni 1945) yang kemudian jadi Pancasila. Jika ada “oso” dalam bahasa Minang Kabupaten 50 Kota, berarti ada kata “esa” dalam bahasa Melayu.
Dari manakah asal kata “oso”? Apakah dari bahasa Sanskerta, atau kata asli bahasa Melayu zaman lampau? Ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Kutipan dari tulisan di situs “Apa Kabar Dunia”.
kutip.…esa num tunggal; satu;– hilang, dua terbilang, pb berusaha terus dng keras hati hingga maksud tercapai; berbilang dr — , mengaji dr alif, pb melakukan sesuatu hendaknya dr permulaan;…. akhir kutipan.
“Esa hilang, dua terbilang” sebetulnya bukan peribahasa, melainkan ikrar prajurit yang akan terjun ke medan perang. Ia bermakna, “selalu ada dua kemungkinan”. Satu; hilang — artinya mati di medan laga. Dua, terbilang – artinya menjadi pemenang dalam perang dan tersohor. Karena itulah Divisi Siliwangi (TNI AD) memakai motto “esa hilang, dua terbilang”.
Jadi pergesaran makna “esa” dari “as it is” menjadi “satu”, tidak terjadi pada masa orde baru. Jauh sebelum Indonesia merdeka, sudah ada kata “esa” dan “oso” yang bermakna “satu”.
Tulisan di “Apa Kabar Dunia” juga mengutip pidato Soekarno, walaupun Soekarno sebetulnya tidak menunjukan bahwa “esa” itu berarti “tunggal”. Soekarno hanya menjelaskan, orang Indonesia mengakui keberadaan Tuhan, beriman. Memang bisa ditafsirkan bahwa Soekarno tidak mengatakan bahwa “esa” adalah “tunggal”, tetapi pidatonya itu pun tidak membantah bahwa “esa” bermakna “satu” atau “tunggal”.
Kemungkinan besar sebutan “yang maha esa” itu dipengaruhi oleh kalimat sjahadat umat Islam (Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain dari Allah, dan Muhammad adalah rasul Allah). Siapa sumbernya? Tidak jelas. Mungkin Soekarno, mungkin Muhammad Yamin (yang pengaruh interpretasinya sangat kuat dan diterima begitu saja pada masa itu). Mungkin juga H. Agus Salim, atau pemuka Islam yang lain. Pada masa itu sudah ada bibit semangat Islam untuk mendominasi, seperti yang terlihat pada kasus Piagam Jakarta, yang semula berisikan kalimat “dan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” (yang ditentang, dan kemudian kalimat ini dibuang).
Kesimpulan
1. Sila pertama dasar negara kita berarti, negara kita adalah berlandaskan keyakinan kepada Tuhan yang Esa. Esa dalam Pancasila ini berarti ‘satu’. Soekarno sendiri mempertegas, bahwa orang Indonesia adalah bangsa yang percaya adanya Tuhan, dan silakan beragama dengan cara yang diyakini oleh setiap individu.
2. Lebih baik membangun jembatan, bukan tembok.
3. Berhenti membuat kelompok-kelompok berdasarkan suku dan agama, Persekutuan Pemuda Tionghoa, Persatuan Muda Mudi Islam (tentu saja ini hanya fiktif) tetapi buatlah kelompok berdasarkan kegiatan : Pemuda Karya (fiktif) yang anggotanya semua mungkin beragama Islam yang tujuannya beribadah bersama, tak lebih dari itu. Persatuan Pensiunan Polwan (fiktif) yang anggotanya hanya ingin sesekali reuni atau melakukan kegiatan sosial, tak lebih dari itu.
4. Jangan mengkotak-kotakkan penganut kepercayaan. Hapus istilah toleransi beragama, ganti menjadi toleransi bersosialisasi. Jika mesjid sehari lima kali menggelegar, tidak diprotes, hargai jugalah tetangga yang sedang menyanyikan kidung pujian waktu mereka melakukan doa bersama… asal tidak keterlaluan. Toh bukan setiap hari…
Dengan Pancasila, rakyat diberi kebebasan untuk memilih dan beribadah sesuai ajaran masing-masing agama , bukan dengan semangat “agama saya benar, agama kamu tidak”.
Sumber :
Wikipedia
Sanskrit Dictionary
*Tulisan ini pertama muncul di blog patahtumbuh tanggal 6 Juni 2014
Comments
menurut saya pengertian "Esa…
menurut saya pengertian "Esa" lebih mengacau kepada "pertama" sesuai dengan penempatannya pada Sila Pertama atau ke-1, jadi dalam sila ke 1 KeTuhanan yang Maha Esa itu KeTuhanan yang Sangat "Pertama" (yang awal/utama) dalam mengamalkan nilai - nilai Pancasila di kehidupan berbangsa,
Add new comment