Waktu anak saya duduk di kelas V SD, pekerjaan rumahnya adalah menulis karangan singkat dengan judul “Hidup yang Bermakna”. Dia duduk dan berpikir lama, tidak tahu apa yang harus dia tulis. Dia bertanya kepada saya, “Mami, bagaimana hidup yang bermakna itu? Untuk apa kita hidup?”
“Ampun ...” begitu saya berpikir, “kok berat sekali PR anak zaman sekarang? Anak sekecil itu disuruh memahami arti hidup?” Makna di sini tentu bukan makna kata “hidup”, melainkan makna kehidupan itu sendiri, nilai hidup kita.
Saya berpikir dan tidak ingin memberi jawaban yang salah untuk pertanyaan serius yang mungkin akan memberi pengaruh besar dalam hidupnya di masa yang akan datang. Saya bukan orang pintar, karena itu saya selalu merujuk ke cerita apa saja yang pernah saya baca.
Begini kira-kira jawaban saya.
Kita hidup untuk segala yang ada di luar diri kita. Begitu juga dengan semua materi lain di dunia ini. Semua ada untuk yang lain. Ketika kita berbuat kebaikan bagi bumi dan segala isinya, maka hidup kita telah bermakna.
Alkisah ada seorang pembuat pensil yang memberi wejangan kepada pensil buatannya sebelum dimasukkan ke dalam kotak untuk dijual. “Ada lima hal yang aku ingin kamu ingat, wahai pensilku. Pertama, kamu akan melakukan hal-hal besar, tapi hanya bila kamu berada dalam tangan yang benar. Kedua, berkali-kali kamu akan kesakitan ketika kamu diraut, bertahanlah, karena itu akan membuatmu menjadi semakin baik. Yang ketiga, ingatlah bahwa selalu ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan. Hal keempat yang harus kamu ingat, bagian terpenting dari dirimu adalah bagian yang berada di dalam. Dan yang terakhir, di mana pun kamu digunakan, tinggalkan jejak yang indah. Jika kamu melaksanakan kelima hal ini, kamu akan menjadi pensil terbaik dan hidupmu akan penuh makna.”
Salah seorang penyair kesukaan saya adalah penyair Persia bernama Khwāja Shams-ud-Dīn Muḥammad Ḥāfeẓ-e Shīrāzī. Beliau mengatakan, “Bagaimana sekuntum mawar bisa mekar dan memberikan keindahannya kepada dunia? Ada dukungan dari cahaya terhadap dirinya. Jika tidak, kita semua hanya akan diam ketakutan.” Demikianlah cahaya ada untuk mawar, mawar ada untuk mata yang melihatnya, jiwa yang menikmatinya, dan hati yang memanfaatkan keindahannya untuk menjadi gembira. Maka hidup mawar itupun menjadi bermakna.
Saya bebaskan Andrew, anak saya, untuk menerjemahkan kehidupan yang bermakna menjadi uraian dalam artikelnya, lewat kisah yang saya ceritakan.
Tambah komentar baru