Malam ini ketika membaca salah satu tabloid yang sering memuat peristiwa nyata, saya menemukan lagi kasus kekerasan dalam rumah tangga. Entah kasus keberapa yang sudah saya baca selama ini. Kali ini seorang mantan model yang sudah menikah 12 tahun dengan pengusaha properti yang kaya raya namun akhirnya memilih untuk berpisah karena tidak tahan lagi dengan kekerasan fisik dan verbal dari suaminya. Dari penuturan sang model, kekerasan sudah terjadi bahkan 10 hari sebelum mereka mengucapkan janji nikah di gereja. Bisa dibayangkan bagaimana dia menjalani hari-harinya dengan suami tipe monster seperti itu selama belasan tahun.
Kasus seperti itu bukan hanya ada di media, dalam keseharian pun saya sering melihat sendiri pasangan yang harus hidup dalam kondisi kekerasan dan di bawah tekanan, baik kekerasan fisik maupun psikologis. Hati terasa miris melihat pasangan yang tetap bertahan dan tinggal bersama meskipun jelas-jelas hubungannya tidak sehat, hubungan yang ‘beracun’ ( toxic relationship). Jika korban ditanya, jawaban yang saya terima selalu senada: “Uda terlanjur, jalanin aja. Mungkin suatu hari dia bisa berubah.”
Faktor Penyebab
Julie Hanks, Direktur Wasatch Family Therapy, psikoterapis dan pekerja sosial bidang klinis, menerangkan bahwa orang sering sulit melepaskan diri dari hubungan yang beracun bisa jadi karena pola hubungan negatif itu sudah biasa bagi mereka. Jika sejak kecil seseorang sudah hidup dalam lingkungan yang tidak "sehat" dan "rusuh", semua menjadi biasa baginya.
Ada juga individu yang jelas sudah tahu bahwa calon pasangannya ini adalah tipe temperamental dan kasar, tapi tetap setia mendampinginya dan bahkan bersedia mengikat janji sehidup semati dengan alasan klise: mungkin suatu hari dia akan berubah. Ini yang disebut dengan hero syndrome. Berusaha untuk menjadi pahlawan dan merelakan dirinya menjadi sasaran emosi si pelaku dengan harapan suatu waktu nanti si pelaku akan insaf dan sadar bahwa perilakunya tidak pantas.
Menjadi Korban, Bukan Menjadi Pahlawan
Ketika timbul kekerasan, baik fisik maupun psikologis, pelaku kemudian berusaha untuk menetralkan situasi dengan minta maaf. Bila korban memaafkan, maka kebaikan hati ini akan dimanfaatkan oleh si pelaku untuk menunjukkan siapa yang lebih berkuasa. Akhirnya ini menjadi lingkaran setan yang makin menjerat. Lama kelamaan korban menjadi tidak percaya diri, gamang jika melepaskan diri dari hubungan itu dan hidup sendiri. Rasa malu dan takut diketahui orang lain membuat korban terus berusaha menutup-tutupi kejadian sebenarnya. Akibatnya mereka tidak punya nyali untuk keluar dari lingkaran setan itu dan memilih untuk tetap bertahan. Kondisi ini jelas membuat pelaku semakin leluasa dan beringas karena merasa punya hak untuk melakukan apa saja, menganggap korban adalah hak miliknya.
Tanda-Tanda Awal
Jika ditelusuri ke belakang, orang yang temperamental seperti ini sebenarnya sudah bisa dideteksi sejak awal hubungan, tapi seringkali kita cenderung mengabaikan. Seperti curhat seorang teman: “Waktu pacaran sudah sering marah dan terpicu emosinya hanya karena ada telepon masuk di hp ku dari nomor yang tidak ada di daftar kontak. Aku diinterogasi. Trus kalo dia telpon ke hp dan tidak segera dijawab, dia pesen dibawakan sesuatu dan aku lupa, wah…bakalan ngomelnya panjang dan kesal-kesal, bisa sampe teriak-teriak.”
Perhatikanlah apakah calon pasangan anda memiliki beberapa ciri perilaku di bawah ini:
- Cepat tersulut emosinya hanya karena kesalahan kecil
- Jika marah, bisa sampai berteriak atau melempar barang
- Suka membentak dan bicaranya ketus
- Mendominasi pembicaraan dan semua keputusan harus dia yang tentukan
- Cemburu berlebihan
- Menetapkan banyak larangan dan peraturan
- Memandang setiap hal dari sisi negatif
- Mood cepat berubah dan tiba-tiba bisa meledak tanpa alasan yang jelas.
- Ingin mengontrol waktu dan uang anda
- Posesif
- Tidak punya banyak teman dan tidak suka terlibat dalam aktifitas komunitas.
Jika sejak awal hubungan, anda sudah menemukan beberapa ciri di atas pada diri calon pasangan, cobalah mundur beberapa langkah dan berpikir ulang apakah orang seperti ini yang anda pilih untuk hidup bersama dalam jangka panjang nanti? Sanggupkah anda mengalah terus dan berapa besar toleransi yang dibutuhkan untuk menetralkan hubungan? Ini saatnya untuk mengevaluasi kembali sebelum memutuskan untuk lanjut atau tidak.
Saya punya beberapa teman yang pasangannya selalu curiga dan suka mengecek semua isi hp, daftar kontak, email, bahkan tas tangannya. Jika sedang bersama teman itu, sering ditelpon pasangannya dan kita diminta untuk say hello juga untuk memastikan bahwa betul teman itu sedang jalan dengan kita. Jam pergi dan pulang sudah ditentukan jadi harus tepat waktu jika tidak mau diamuk setibanya di rumah.
Lanjut Atau Putus?
Jika anda merasa diri semakin tergerogoti, pribadi seolah-olah tersedot, seperti berjalan di atas kulit telur, selalu takut berbuat salah karena terbayang si dia akan mengamuk, itu artinya lampu kuning sudah kedap-kedip. Hati kecil anda mungkin sudah memberi sinyal bahwa orang ini tidak cocok untuk anda. Dengarkanlah nurani anda sendiri atau coba curhat dan minta pendapat orang terdekat. Apakah hubungan ini layak untuk diteruskan atau berhenti sampai di sini saja.
Hubungan yang sehat seyogyanya membuat anda menjadi lebih bersemangat, merasa pribadi tumbuh menjadi lebih baik, memiliki orang yang dapat menjadi "rem" untuk semua sepak terjang kita, dan meningkatkan rasa percaya diri karena selalu mendapat dukungan positif dari pasangan, saling percaya, jujur dan tidak akan "tega" untuk berbohong. Ada rasa nyaman setiap kali bersama si dia, nyaman berbicara dan mengutarakan apa saja isi kepala dan isi hati anda. Rasa aman dan tenang menyelimuti hati tanpa waswas.
Jika hubungan dibina atas nama cinta, tentu bukan cinta sepihak yang menghidupkan hubungan itu, tapi dua belah pihak yang harus saling menopang. Saling memberi dan menerima, saling mengisi, bukannya terlena oleh cinta tanpa pamrih yang membuat anda harus selalu siap berkorban dan mengalah karena takut si dia marah. Akhirnya anda sendiri yang menjadi babak belur karena mengikuti aliran "cinta adalah pengorbanan". Cintailah orang yang pantas untuk dicintai, bukan cinta pada orang yang membuat fisik dan psikis anda babak belur. Kata Khalil Gibran, mencintai dan dicintai adalah anugerah. Anda layak mendapatkannya.
Tambah komentar baru