Sebelumnya: Reminiscence (Bagian III)
Malam pertama saya berada di Padangsidimpuan, saya dan teman saya, Dokter Neny, naik becak pergi makan malam di suatu restoran yang baru buka. Saya senang sekali. Di Taiwan tidak ada becak. Saya berusaha mencari becak dayung di antara banyak kendaraan yang lalu lalang di tengah kota Padangsidimpuan, tapi tak tak satu pun saya temukan. Kini semua becak di kota ini pakai mesin.
Dulu becak dayung ada dua jenis, becak untuk mengangkut orang dan “becak barang” yang tidak ada tempat duduk maupun “atap”nya.
Mungkin generasi yang akan datang tidak akan pernah mengira bahwa pada suatu saat di zaman dulu, naik becak adalah satu kemewahan. Saya teringat, begitu banyak anak-anak dan remaja naik becak “raun-raun” keliling kota waktu Imlek di awal tahun 1970-an. Di malam takbiran, becak ramai berparade di jalan raya. Itu hanya pada saat hari besar. Di hari-hari biasa, biasanya kalau masih bisa jalan kaki, orang lebih memilih berjalan kaki, menghemat ongkos.
Sewaktu saya masih duduk di bangku SD, ada seorang tukang becak dayung “langganan” (W) yang tinggal dekat rumah kami. Dia sering tidak mau terima ongkos kami. Jalan di depan rumah kami waktu itu agak menanjak. Setiap W lewat dengan penumpang di depan rumah dan kebetulan kami lihat, kami berlari-lari dan membantu dia mendorong becaknya hingga melewati tanjakan. Mungkin karena itu W sangat sayang kepada kami. Zaman itu jalan raya sepi, tidak banyak mobil yang lewat.
Cerita lain yang lucu saya dengar dari guru saya yang kebetulan melihat adik saya yang baru masuk kelas satu Sekolah Dasar menawar becak saat pulang sekolah. Dia menghampiri salah satu dari sekian banyak becak yang sudah menunggu di depan sekolah. Seharusnya menawar itu meminta harga diturunkan, tetapi adik saya meminta harga yang lebih tinggi dari yang disebut tukang becak. Tukang becak itu tertawa. Buat apa menawar? Kalau mau bayar lebih, dilebihkan saja. Tapi, adik saya yang murid kelas satu SD itu mungkin berpikir harus ada kesepakatan dulu dengan si penarik becak.
Becak bukan hanya ada di Indonesia. Tahun 2004 saya ke Malaysia dan naik becak dayung yang pengemudinya orang Cina Malaysia. Saya juga pernah melihat becak di Paris, Berlin, dan Beijing. Di sana ada jalur khusus untuk becak agar tidak mengganggu lalu lintas. Becak mereka biasanya untuk keperluan mengangkut barang atau untuk penumpang di daerah turis saja.
Becak mereka tidak memakai tenaga manusia untuk mengayuh, tapi menggunakan energi listrik, tanpa polusi, dan tidak membuat penumpang merasa “tidak manusiawi”. Tapi agaknya banyak yang tak tahu bahwa pada awalnya becak hanya didorong dengan tenaga manusia. Mungkin karena itu, pada awal 1990an di Yogyakarta, saya mendengar seorang turis dari Taiwan nyeletuk (dengan bahasa Mandarin), “Sungguh tidak manusiawi, supirnya mendayung setengah mati. Tega sekali orang-orang ini.”
Selanjutnya: Reminiscence (Bagian V)
Tambah komentar baru