Hari terakhir di Toraja, pagi-pagi kami sudah cek out dan langsung bergerak ke selatan ke arah Makassar. Perhentian pertama adalah kopi organik Toraja yang terbaik.
Londa
Selanjutnya kami menuju pekuburan gua di Londa, 7 km selatan Rantepao. Dari semua tempat pemakaman, saya paling suka tempat ini. Tiket masuk hanya Rp 20 ribu untuk orang asing. Sangat murah dibanding biaya yang harus mereka keluarkan untuk upacara pemakaman.
Ada dua gua yang di dalamnya penuh peti mati dan mayat. Karena di dalam gua sangat gelap, kita bisa menyewa guide yang membawa lampu pijar dengan membayar Rp 30 ribu.
Katanya kedalaman gua mencapai satu kilometer dan bisa tembus ke gua yang lain, tetapi karena medan yang berbahaya, kami hanya masuk beberapa meter. Di dalam gua yang bagaikan labirin itu kita bisa tersesat. Selain itu, di banyak tempat langit-langitnya sangat rendah sehingga kita tidak bisa berdiri tegak. Gua ini juga penuh dengan stalaktit dan stalakmit. Sebenarnya sangat indah jika anda tidak takut hantu. Dalam perjalanan menuju Lemo, guide kami mengaku bahwa dia mendengar ada yang mengikuti kami ketika kami berada dalam gua. Itu jika anda percaya ada kehidupan lain selain kehidupan kita, manusia.
Lemo
Dari Londa, kami melanjutkan perjalanan ke kuburan tebing untuk para bangsawan di Lemo (11 km di selatan Rantepao). Menurut penduduk setempat, kuburan ini sudah ada sejak abad 16. Disebut “Lemo” (berarti ‘lemon’) karena bentuk bukitnya mirip lemon. Ada sekitar 75 lubang yang dipahat dengan tenaga manusia ke dinding tebing ini. Setiap lubang dipergunakan sebagai pekuburan untuk satu keluarga. Ukuran lubang kira-kira 3 X 5 m.
Beberapa lubang ada pintu yang tidak boleh dibuka kecuali untuk memasukkan mayat baru. Perlu satu upacara khusus dengan mengurbankan kerbau untuk mengganti pintu yang rusak.
Kambira
Tujuan kami berikutnya adalah pekuburan bayi Kambira di Lembang Buntu, Sangalla. Kuburan pohon tertua di Toraja ini konon berumur lebih dari 300 tahun dengan sekitar 250 bayi dikubur di dalamnya. Rakyat Toraja percaya, roh orang yang meninggal mengendarai kerbau yang dikurbankan pada upacara pemakamannya untuk menuju Puya (kehidupan setelah meninggal) tetapi bayi belum sanggup mengendarai kerbau, karena itu bayi yang meninggal sebelum berusia 6 bulan atau belum mempunyai gigi akan dikuburkan dalam lubang yang dibuat pada batang pohon Tarra yang masih hidup, kemudian ditutup dengan jalinan ijuk . Pohon Tarra mempunyai banyak getah berwarna putih yang dipercaya bisa memberi makan si bayi sebagai pengganti air susu ibu. Mereka percaya bayi yang dikuburkan dengan posisi seperti dalam rahim di lubang pohon Tarra bagaikan mengembalikan bayi itu ke dalam rahim ibunya, dengan demikian mereka akan melindungi bayi yang dikandung berikutnya.
Orangtua bayi tidak boleh hadir sewaktu pemakaman. Jika mereka memaksa mau hadir, mereka tidak boleh menangis atau berbicara selama upacara dan ketika bayi dimasukkan ke dalam lubang, orang tua harus membelakangi pohon itu. Pohon Tarra yang hidup akan tumbuh terus dan akhirnya mayat bayi menyatu dengan pohon. Setelah kira-kira 16 tahun berlalu, akan diadakan upacara lagi untuk melepas bayi menuju puya.
Orang Toraja percaya, bahwa mereka bisa berdoa kepada arwah bayi di pekuburan pohon ini (Mereka menyebut pekuburan pohon ini Liang atau Pasilliran.) Konon sepasang suami istri dari Belanda yang telah menikah delapan tahun tetapi belum mempunyai anak, berdoa meminta berkat di sini. Ternyata mereka kemudian dikaruniai sepasang anak kembar. Beberapa tahun setelah itu, mereka kembali untuk berterimakasih dengan meletakkan dua buah boneka di bawah pohon ini.
Suaya
Hampir pukul 17.00 ketika kami sampai di Suaya (23 km di selatan Rantepao), tempat raja-raja Sangalla dikuburkan. Ada tangga batu menuju ke puncak yang katanya telah ada semenjak masa raja-raja masih hidup. Menurut cerita nenek moyang Toraja, tempat di puncak itu dulu digunakan raja-raja untuk bermeditasi.
Pekuburan ini tidak jauh berbeda dengan yang di Lemo, tapi lamba-lamba ini menarik perhatian saya. Kain merah panjang yang digunakan dalam ritual ma'palao akan ditinggal hingga rusak sendiri.
Sungguh ironis, Tau-tau yang diharapkan melindungi keturunannya yang hidup, sekarang harus dilindungi dari mereka yang hidup itu.
Sebelumnya - Toraja: Kehadiran Leluhur Nyata Adanya - IVA
Berikutnya - Toraja: Tanah di Atas Awan - V
Tambah komentar baru