Puisi oleh Waluya Dimas
Apakah semua orang suka membaca puisi? Saya belum pernah tanyakan. Tapi saya menduga, setiap orang yang telah beberapa kali mendapat kesempatan membaca puisi, pasti pernah suka setidaknya satu puisi yang dia baca.
Biasanya puisi tertulis sebagai tuangan reaksi emosional penulis terhadap sesuatu hal tetapi mungkin pembaca mengartikannya berbeda. Dan itu tidak menjadi masalah. Di situlah letak keindahan puisi. Satu puisi yang sama bisa mengisahkan satu cerita, mengekspresikan luapan perasaan pada satu momen, berbagi ide, menerangkan satu impian, mengajukan pertanyaan, menceritakan kegembiraan atau kesedihan yang dalam; semua tergantung pembacanya.
Tidak selalu kita mengartikan puisi sesuai suasana hati sendiri. Pada saat normal dengan emosi stabil, kita mungkin mencoba mengerti apa yang ingin dikatakan sang penyair. Saat-saat tersebut adalah saat kita menentukan, penyair mana yang kita sukai. Penyair tertentu memperlihatkan kebijaksanaan seperti Kahlil Gibran. Ketika membaca puisi karya penyair Maya Angelou, kita bisa merasakan kekuatan karakternya.
Puisi yang baik adalah puisi yang mendobrak dinding yang kita bangun untuk melindungi ego dan berbicara kepada jiwa kita. Bukan penyairnya, tapi puisinya. Satu puisi yang tidak memiliki arti bagi seseorang, mungkin berbicara banyak kepada orang lain. Satu puisi yang tidak berarti bagi kita pada waktu kita membacanya pertama kali, mungkin berarti banyak pada saat lain kita membacanya.
Penulisan puisi berbeda dengan prosa. Dengan puisi, kita bisa menerangkan hal besar hanya dalam beberapa kata, atau menjelaskan sesuatu yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata yang ada. Puisi merefleksikan keindahan dalam bahasanya sendiri, tanpa batas, tanpa aturan.
Saya mulai suka membaca puisi-puisi Mas Waluya Dimas ketika membaca “Ode Buat Matahari”. Pada saat itu saya sedang merindukan ayah saya yang telah tiada. Puisi-puisi lain saya pilih untuk patahtumbuh karena “keindahan”nya. Mungkin bagi sebagian orang, puisi-puisi cinta terasa cengeng, tetapi saya menemukan banyak kekuatan dalam puisi Mas Waluya Ds, seperti misalnya dalam “Ode untuk Ibu” dan juga kebijaksanaan, seperti dalam “Pemetik Teh di Wonosari Malang”. Selamat menikmati dan mengapresiasi.
Ode Buat Matahari
Seandainya saja matahari memejamkan mata
akankah bulan menggigil kedinginan?
Apakah yang terjadi bila raga tanpa jiwa?
Tak bisa kubayangkan hidup tanpa kasih sayang.
Mungkin ini seperti angin berlalu dengan kencang
tapi kau tak akan tahu ke mana arah tujuan
tanpa ada sentuhan sepanjang perjalanan.
Berikanlah senyummu kepadaku
supaya aku selalu akan tahu
bahwa matahari masih ada
dan hidupku tak akan sia-sia.
Sukmaku tak akan lagi mengembara.
Etude Op.10, No.3. CHOPIN
27 Juli 2011
Ketika kumainkan Etude Chopin
tak ada bulan dan malam tanpa bintang
dari toet-toet piano mengalun lagu
mengingatkan aku padamu.
Aku tak tahu
mana datang lebih dahulu
kenangan ataukah rinduku?
Aku hanya tahu
sunyi sendiri
tanpamu aku
cuma berteman sepi.
Malam tanpa bulan sebagai saksi
ketika kubelai rambutmu
dan kucoba memberanikan diri
padamu menyatakan cintaku.
Bulan tak pernah tahu
dan malam yang kelam
mereka tenggelam dalam lagu
Etude Chopin rindu yang terpendam.
Ode buat Ibu
Padamu aku selalu berpaling saat terbanting
di liku jalan hidupku yang tak menentu.
Selalu kuingat pesan yang kau bisikkan :
“Hidup jangan kau anggap sebagai beban.
Bagai burung bebas lepas di angkasa
bagai jengkrik mengerik senantiasa
Lewatkan hari-harimu tanpa ragu
bahwa matahari akan selalu datang
dan malam tak akan pernah tanpa bintang.”
“Anakku, awan tak akan membuat langit rawan
karena hujan akan menyuburkan bumi
agar kembang bermekaran untuk kita nikmati.”
Ibu, aku rindu dekapanmu.
Anagram
Ada getar-getar ajaib
ketika matamu berkedip
serasa aku tenggelam
mendengarmu bergumam.
Suaramu begitu merdu
menguburku dalam pelukanmu.
Ada getar-getar menjalar membakar
ujung-ujung sarafku hangat berpijar.
Kucoba menggapai sukmamu
untuk bersatu denganku
dengan mesra ciuman
di bawah selimut malam.
Ada getar-getar ajaib
mengalun di tenang gelombang
menuju pantai sebelum raib :
Kau dan aku
dalam anagram menjadi satu.
Pemetik Teh di Wonosari Malang
Secangkir teh hangat di pagi hari
mengepul bagai kabut di bukit Wonosari
Di mataku datang kembali
perempuan tua memetik daun-daun ranum
menjadi teh hangat yang kuminum.
Senja itu kabut tebal bergulung
menghalangi langit mendung.
Pohon-pohon menggigil dingin
meliuk ditiup angin.
Di kebun teh Wonosari Malang
tiba-tiba hujan turun dengan jalang,
tapi perempuan tua itu tak peduli
terus bekerja tanpa berhenti.
Mungkin dia mengejar target hari ini
membantu anak cucu demi sesuap nasi.
Aku ingat keriput-keriput di wajahnya
bukan sekedar tanda usia
tapi juga goresan-goresan derita.
Di tanganku secangkir teh hangat
perlahan kuminum dengan nikmat
sebagai rasa hormat
pada perempuan tua di bukit Wonosari
yang memandangku, tegak penuh harga diri.
Catatan :
Buku kumpulan puisi hardcover penyair Waluya Ds akan terbit dengan desain cover oleh pelukis RW Mulyadi. Jangan lewatkan!
Catatan: Tulisan ini pertama muncul di blog patahtumbuh yang lama tanggal 9 Januari 2015.
Comments
Terimaksih puisinya jangan…
Terimaksih puisinya jangan lupa baca juga <a href='http://www.harianmobil.com/' title='Harga Mobil Avanza' > Harga Mobil Avanza </a>
Add new comment