Kejelasan, Gaya, Kepantasan, dan Celepuk

Wartawan olahraga terkadang memaksakan penulisan yang uraiannya menarik, atau hidup, enak dibaca. Agaknya karena ingin menggambarkan dinamika suatu pertandingan --sepakbola misalnya-- dalam berbagai laporan kerap dijumpai upaya menghidupkan uraian dengan kata ekspresif, dan memanfaatkan gaya bahasa. Akan tetapi penulisan yang bergaya atau stylish yang dilakukan tanpa pengetahuan dan kemampuan pemakaian bahasa yang baik, sering membuat si penulis terjerumus menjadi lebay. Gaya terkesan dibuat-buat, dipaksakan, mengabaikan kepantasan, dan bahkan tak peduli pada kejelasan isi laporan bagi pembaca pada umumnya.
Kasus berikut ini adalah salah satu contoh.

Minggu, 05 Juli 2015 | 09:47:30 WIB
Beragam Ekspresi Messi di Adu Penalti Final CA2015

-- cetak tebal dari saya, penulis note ini (MM)

SANTIAGO, XXXXX.XXX - Media Argentina, La Nacion, memuat serangkaian foto Lionel Messi saat adu penalti Cile kontra Argentina di final Copa America 2015 tengah berlangsung. Pada laga yang bergulir Minggu (5/7/2015) tersebut, alur mukanya tak bisa menyembunyikan kekecewaan pada rekan-rekan.

Seperti kala melawan Kolombia di perempat final, Messi tak diberi ruang bernafas sedikit pun dari terpaan hujatan penonton di sepanjang laga di Estadio Nacional tersebut. Seluruh stadion seperti bersatu menyerang La Pulga saat ia berjalan untuk mengambil tendangan pertama Argentina dalam ajang adu penalti. Padahal, ada banyak kontingen Argentina di antara lebih dari 49 ribu orang yang hadir.
Messi mengawali malam Argentina dengan sempurna pada ajang adu penalti. Ia menendang setelah pemain tengah Cile, Matias Fernandez, melesakkan penalti pertama di ajang tersebut.
La Pulga menghadapi rekan setimnya di Barcelona, Claudio Bravo, dan ia menuntaskan tugasnya dengan brilian. Bravo dapat menebak arah bola dengan benar tapi kiper terbaik CA 2015 tersebut tak berdaya dengan kecepatan tembakan Messi.
Setelah mengepalkan tangan, ia pun berjalan kembali ke rekan-rekannya. Namun, dari tengah lapangan, ia melihat harapan Albiceleste hilang secara perlahan.
Pertama, Gonzalo Higuain melesakkan penaltinya terlalu tinggi dan melenceng. Ia kemudian menaruh kedua tangan di mukanya setelah melihat Ever Banega mengikuti kegagalan Higuain.
Kemudian datang tamparan terakhir dalam bentuk gol panenka Alexis Sanchez dan stadion yang meledak. La Pulga hanya bisa duduk tersungkur di lapangan dengan rekan-rekannya mencoba membangkitkan kembali semangat sang pemain.
Pada seremoni seusai laga, Messi pun melepas medali runnersup-nya tak lama setelah penghargaan itu disematkan ke lehernya.

*

A. Diksi dan Gaya yang Tak Pantas

1. Kata “kontra” dalam frase “Cile kontra Argentina di final Copa America 2015” dipakai secara tidak tepat. “Kontra” bukanlah “versus (vs)”. “Kontra” adalah sikap yang dilatarbelakangi pendapat atau pendirian yang bersifat menentang atau melawan.
2. Ekspresi wajah atau air muka dalam laporan ini ditulis sebagai “alur muka”. Rasanya tak pernah ada idiom “alur muka”.
3. Apa pula yang dimaksud dengan “tak diberi ruang bernafas sedikit pun dari terpaan hujatan penonton”? Mungkin akan lebih baik dinyatakan “tak diberi ruang bernafas sedikitpun oleh hujatan penonton”.
4. Kenapa malam saat final Copa America 2015 digelar disebut sebagai “malam Argentina”? Mungkin kesebelasan Argentina diunggulkan. Walau demikian tetap malam pertandingan final itu tidak patut disebut sebagai “malam Argentina”. Lain halnya jika Argentina keluar sebagai pemenang. Jika itu yang terjadi, pantaslah malam itu disebut sebagai “malam Argentina”.
5. Pada frase “tak berdaya dengan kecepatan tembakan” ditemukan ketidak-tepatan pemakaian kata “dengan”, untuk maksud yang sebetulnya adalah “tak berdaya menghadapi kecepatan tembakan”.
6. Apa pula makna kata “duduk tersungkur”? “Duduk” adalah keadaan atau posisi tubuh yang bertumpu pada pantat. “Tersungkur” adalah jatuh terjerembab, mengarah ke depan (muka), berkebalikan dengan tertelentang, atau terjengkang. Agaknya “duduk tersungkur” yang tak jelas maknanya itu lebih tepat disebut “terduduk”, dalam kalimat pada laporan itu.
7. Menurut laporan ini medali (medali runner up, berupa coin, dan dilengkapi tali untuk menggantungkannya di leher) disebut “disematkan di leher”. Betapa “semat”, “tersemat”, “disematkan”, menyematkan” yang selalu berlangung dengan cara menusukkan, tidak dipahami arti sebenarnya oleh si penulis laporan.

B. Kata-kata Sulit karena Asing

8. Di dalam laporan itu ada kalimat “Seluruh stadion seperti bersatu menyerang La Pulga ...”. Apa atau siapakah La Pulga? Orang Amerika Latin dan masyarakat Spanyol memang mengerti, apa atau siapa itu La Pulga. Pencandu sepakbola di Indonesia sebagian mungkin juga tahu apa dan siapa La Pulga. Tetapi khalayak pembaca laporan ini pada umumnya diduga tidak begitu akrab dengan sebutan La Pulga alias Sang Kutu Atomik (julukan yang diberikan pada Leonil Messi, karena semasa dia kecil dia diketahui menderita gangguan hormonal yang membuat pertumbuhan fisiknya agak terlambat, di bawah normal).
9. Apa pula itu Albiceleste? Sama dengan La Pulga, Albiceleste juga disebut begitu saja tanpa penjelasan bahwa itu adalah julukan untuk kesebelasan nasional Argentina, sesuai dengan kostumnya “putih berselang-seling biru langit”.
10. Ketidak-jelasan juga ditemukan untuk jargon “gol panenka” (teknik tendangan penalti berisikan trik --tendangan yang tidak keras, pada bagian bawah bola, yang membuat bola melambung, terbang lengkung masuk gawang-- yang diperkenalkan pemain Ceko Antonín Panenka, pada pertandingan final Piala UEFA, 1976, menaklukkan kiper hebat Jerman [Barat] Sepp Maier).

*

Wartawan yang menulis laporan olahraga --dalam beberapa laporan-- terlihat sering bernafsu memamerkan pengetahuannya yang luas. Kata asing, nama atau julukan khas untuk seseorang maupun tim disebut begitu saja tanpa penjelasan, bagaikan pembaca pada umumnya sudah pasti tahu apa yang dia maksud. Tabiat buruk dalam menulis --untuk media massa-- seperti ini memang berhasil menjadi ajang pameran. Ia menampilkan laporan yang seolah-olah ditulis oleh orang yang mengerti dan berpengetahuan luas. Tetapi laporan itu sering gagal sebagai sebuah pesan yang isinya diterima/dipahami dengan jelas oleh pembaca pada umumnya.

Pemakaian diksi yang keliru, dan gaya bercerita yang tidak tepat, terkesan dipaksakan, dibuat-buat, dan jadi lebay belakangan ini sering muncul dalam laporan peristiwa olahraga. Boleh jadi, dalam pikiran sang jurnalis berdering terus kalimat “tulisan haruslah hidup, berwarna (colorful), menarik, indah, enak dibaca.” Hanya saja mereka tampaknya lupa bahwa dalam upaya merealisasikan corak laporan seperti itu pengetahuan tentang diksi haruslah teruji dan rasa bahasa (kemampuan menghayati tepat tidaknya dan lazim tidaknya pernyataan yang idiomatik) haruslah baik.

Mutu suatu laporan ditentukan paling tidak oleh lima faktor.
1. Gagasan yang disampaikan (orisinal, dan baru).
2. Fakta yang dipakai untuk mendukung gagasan (lengkap, sumbernya terpercaya, dan akurat).
3. Struktur cerita jernih, alur uraian membuat audience mudah memahami tulisan.
4. Bahasa (jelas, dan baik).
5. Gaya penulisan (bukan gaya bahasa) menarik.

Faktor 1 sampai 4 bersifat mutlak, alias pokok. Faktor kelima adalah faktor yang “disunahkan”, dianjurkan tapi tidak diwajibkan, menjadi baik kalau ada dan tidak menjadi buruk kalau tak ada.
Gaya bagi sebuah tulisan adalah kosmetik. Ia dapat membuat penampilan lebih elok dan menarik jika dipakai secara tepat dan sepantasnya, tapi apabila dipakai secara berlebihan dan tidak pada tempatnya, dapat membuat wajah menjadi seperti celepuk.

Celepuk

*Tulisan ini sebelumnya muncul sebagai note di akun facebook penulis.

Add new comment

Plain text

  • No HTML tags allowed.
  • Lines and paragraphs break automatically.