“Kamu! Ya, kamu! Aku tidak tahu apa kamu akan sanggup bekerja di sana. Mungkin seminggu di sana, kamu akan minta pulang….”
Masih terbayang ekspresi wajah dan bahasa tubuh laki-laki tinggi besar berkumis Pak Raden itu ketika mengucapkan kalimat tersebut sambil mengarahkan telunjuknya kepada saya. Dia sedang memberi pengarahan kepada kami, dokter-dokter baru yang akan bertugas sebagai dokter pegawai tidak tetap (Dokter PTT) di beberapa puskesmas di Kabupaten Tapanuli Selatan.
Saya hanya duduk diam seperti si Bandit -- anjing saya-- yang terdiam ketika dimarahi karena mengunyah kaus kaki Papa untuk keenam kalinya. Mungkin mulut saya juga menganga seperti Bandit. Saya harap lidah saya tidak terjulur.
“Pak Raden” mengambil tas sandang saya, menyampirkan di bahunya dan berjalan bak peragawati. “Tik tok, tik tok, tik tok… Kamu pakai sepatu tumit tinggi, menyandang tas, berjalan seperti ini. Kamu! Kamu Cina kaya non-muslim. Tidak akan ada yang mau berobat sama kamu di sana. Tahu nggak? Di sana ada dokter perempuan berjilbab dan orang sana melihat dia seperti melihat malaikat.”
Dia mengembalikan tas saya. Teman-teman seangkatan saya yang kebetulan semuanya laki-laki tidak ada yang bersuara. Beberapa di antara mereka menginap di rumah kami. Di surat permohonan penempatan, saya meminta Kabupaten Tapanuli Selatan, karena orangtua saya tinggal di Padangsidimpuan. Jadi selama masa orientasi, saya tinggal di rumah sendiri. Ups, salah… rumah sewaan orangtua saya yang distereotip oleh “Pak Raden” sebagai “orang kaya”.
Apakah saya kesal diperlakukan seperti itu? Tentu saja. Bohong kalau bilang saya tidak kesal. Sebelumnya saya tidak pernah berpikir bahwa predikat “Cina kaya non muslim” akan memberi masalah pada saya untuk bekerja di daerah sangat terpencil. Mungkin karena kami memang bukan cina kaya, mungkin karena saya tidak merasa beda dengan orang lain di sekitar saya, atau mungkin saya yang terlalu naif. Saya tidak ingat banyak hal tentang masa orientasi itu. Saya mencoba menguburnya dalam-dalam. Setelah masa orientasi selesai, saya ke pasar membeli beberapa barang keperluan, termasuk pakaian yang saya pikir akan lebih sesuai saat tinggal di desa tempat saya bertugas nanti. Tampaknya apa yang dikatakan “Pak Raden” cukup menggoyahkan kepercayaan diri saya.
Selanjutnya: Melapor
Tambah komentar baru