Ketika hujan sering turun sebelum bulan puasa yang lampau, sepatu tua yang saya pakai “menganga” seperti buaya mengancam lawan. Lemnya kehilangan tenaga. Sol bagian depan terlepas.
Karena sepatu ini enak dipakai saya ingin memperbaikinya. Berminggu-minggu saya pasang kuping, menunggu tukang sol sepatu lewat di kampung tempat saya tinggal, Bukit Duri Puteran. Baru hari Minggu (31/7) niat itu berkesampaian. Seorang tukang sol sepatu lewat di depan rumah, dan saya panggil.
Dia lelaki tua. Tapi langkahnya masih terlihat penuh tenaga. Teriakan “sol patuuuu” yang dia ulang-ulang masih nyaring. Aksen bicaranya, aksen Bekasi. Daerah operasinya lumayan luas, Cawang, Kampung Melayu, Tebet, hingga Manggarai. Dalam kebersahajaannya mungkin dia senantiasa berhati senang. Dia sangat rajin bicara dan sedikit kocak. Ngobrol selama setengah jam lebih dengan dia menyenangkan, seperti ngerumpi dengan orang yang sudah dikenal lama.
Berbagai cerita yang dia “jual” memberi kesan bahwa ingatannya merekam banyak catatan tentang kehidupan manusia Jakarta. Dia berkisah, pernah mendapat pesanan dari seseorang yang meminta dia membuatkan lapisan tambahan di telapak sepatu bagian dalam yang tampaknya akan dipakai buat menyembunyikan sesuatu.
“Mungkin buat ngumpetin narkoba, yak,” katanya.
“Bapak tahu dong rumah orang itu,” kata saya.
“Kagak,” katanya. Orang itu naik sepeda motor, ketemu dia di jalan, dan lapisan tambahan itu langsung dikerjakan di pinggir jalan itu.
*
Setelah selesai mengerok bekas lem yang lama, dia tiba-tiba berkata, “Solnya udah tipis bangat, Pak. Kayaknya sepatu ini udah diajak muter ke mana-mana.” Dia terkekeh memandang saya dari balik kacamatanya yang gagangnya dililit dengan benang penjahit sepatu (mungkin gagang itu retak, atau boleh jadi patah). Saya tertawa dan bilang, “Iya, sudah blusukan ke seantero Jakarta.” “Sol sepatu Pak Ahok aja kayaknya nggak sampai setipis ini,” katanya lagi. Saya tertawa mendengar perbandingan yang dia pakai.
Tangannya sibuk menggosokkan ampelas, dan mulut Pak Tua berumur 62 tahun ini tak berhenti mengoceh tentang masalah Jakarta, tentang Ciliwung, orang yang benci, dan orang yang suka pada Ahok. Sepatu saya dia buat menganga lebih lebar dan debunya dia tiup. “Tapi tu orang hebat, Pak,” katanya lagi. Dia masih bicara tentang Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama.
“Hebatnya bagaimana?” saya bertanya.
“Tegas, berani ... Orang Jakarta emang kudu dikerasin,” katanya lagi.
Sembari memukul-mukul sol sepatu yang sudah diolesi lem di atas amleng (landasan besi menyerupai telapak kaki), dia nyerocos lagi, “Dia itu nggak ada lawan. Ahok itu bisa kalah cuman kalau Bang Ali hidup lagi dan ikut nyalonin jadi gubernur.”
Saya tertawa --sebetulnya menahan agar tidak sampai terbahak-- sembari memperhatikan wajahnya yang kali ini tampak serius.
“Sudah, Pak,” katanya memutus cerita, sembari memberikan sepatu itu kepada saya dan menganjurkan agar didiamkan dulu barang sehari sebelum dipakai lagi.
Kepada dia saya serahkan lembaran Rp 50.000 dan mengucapkan terimakasih. Dia buka tas pinggangnya. “Kembali berapa nih?”
“Nggak usah ada kembalian,” kata saya.
Dia tertawa senang, dan berterimakasih. “Uang bapak berkah buat saya.”
Saya tepuk pundaknya ketika dia hendak berdiri, dan berkata, “Ntar kalau ada yang ngesol sepatu, bapak cerita lagi bahwa Ahok cuma bisa kalah kalau lawannya Ali Sadikin, ya.” Lagi-lagi dia terkekeh.
Setelah memberi saya bonus --kalkulasi politik rakyat jelata-- Pak Tua itu kemudian berlalu, menjauh, dan berseru lagi, “Sol patuuuuu ...” Saat masuk ke rumah, saya agak menyesal, karena lupa menanyakan namanya.
Catatan:
Tulisan ini pertama muncul di status Facebook Penulis pada tanggal 2 Agustus 2016.
Komentar
Setuju. seperti mendidik…
Setuju. seperti mendidik anak kita, keras utk kebaikannya di masa depan.
Kereen Pak :-)
Kereen Pak :-)
Tambah komentar baru