31 Januari 1981
Akhirnya anak-anak tertidur juga. Aku sedang memasukkan foto-foto kami ke dalam kotak. Besok kotak itu dan beberapa kotak pakaian akan dibawa ke rumah kontrakan baru. Bungkusan-bungkusan kecil mungkin akan kusuruh A San dan A Sia bawa lewat jalan pintas belakang rumah. A Chui menemani Noni dan A Hai saja di rumah, lagipula aku tak percaya dia tidak akan jatuh waktu melangkahi parit yang lebar itu. Entah siapa pula yang menjatuhkan jembatannya. Lebih baik aku berhati-hati meniti sebatang pohon kelapa daripada melompati parit yang sepertinya hampir satu meter lebarnya itu. Bukan arusnya yang kutakuti, tapi sampahnya itu. Belum lagi tiap pagi buta kulihat anak-anak tetangga berjejer buat kue di sana. Entah ada yang pernah jatuh ke dalamnya tidak ya?
Kupandangi lama tikar yang kami beli waktu aku hamil Noni ini. Aku suka sekali warna dan motifnya, tapi mungkin kubuang saja, sudah hancur sekali.
Untung ayam kami sudah dipotong dua-duanya, jadi aku tak perlu memikirkan bagaimana agar mereka terbiasa nanti di rumah baru. Nanti setelah terbiasa di sana, baru aku beli anak ayam lagi. Mungkin aku akan pelihara lebih banyak. Halaman belakang rumah itu cukup besar. Akan kusuruh suamiku buat kandang kecil.
Ah, rasanya aku tak bisa tidur karena perasaan yang campur aduk. Antusias dengan rencana-rencana dan melankolis teringat saat kami pindah ke kota ini. Begitu jauh merantau meninggalkan semua sanak saudara. Kupandangi lagi foto kami bersama keluarga suamiku. Kedua mertuaku masih hidup waktu itu. Ibu mertuaku yang suku Jawa dari Purworejo dan berkulit hitam manis masih berkebaya. Baru tahun ini dia mulai belajar memakai celana panjang, semuanya dia buat sendiri, jahit tangan. Aku tak akan bisa sesabar itu. Bapa mertuaku meninggal tahun lalu dan kami pulang untuk pertama kalinya setelah tinggal di perantauan lima tahun. Waktu berlalu begitu cepat. Sedih sekali teringat bapak mertuaku yang baik itu. Seluruh kota datang melayat. Siapa yang tidak kenal dia? Anak-anakku dikenal sebagai cucunya. Mantan pejuang, jago silat, tabib desa, baik budi, lemah lembut, dan juga sangat sayang sama semua cucu-cucunya. Dia membuatkan dua kursi kecil dari kayu untuk kami bawa merantau ke kota ini. Untuk A San dan A Sia, katanya. Kedua kursi kecil kesayangan anak-anak itu sudah dibawa ke rumah kontrakan yang baru kemarin.
Tidak tahu apa yang temanku akan katakan kalau dia tahu aku masih belum tidur juga jam segini. Dia sering mengatakan aku bekerja terlalu capek, punya anak terlalu banyak. Bagaimanalah, dia orang kaya, aku orang miskin. Minggu lalu aku menerima kiriman fotonya waktu main ke Bandung. Di depan alun-alun katanya. Aku tak pernah ke luar dari pulau Sumatera, mana kutahu di mana alun-alun itu. Yang kutahu bapak mertuaku suka bilang “alon-alon, weton, kelakon”. Suamiku bilang artinya kalau mengerjakan sesuatu itu pelan-pelan, jangan grusa-grusu, harus sesuai aturan, agar baik hasilnya. Aih… kalau aku kerja pelan-pelan, kapan selesainya?
Senang juga akhirnya kami tidak tinggal di “ekor” rumah orang lain. Begitupun sudah banyak kenangan di rumah ini. Yang pasti di rumah kontrakan baru kami tidak akan kebanjiran lagi karena rumahnya adalah rumah panggung. Di sini setiap hujan lebat, rumah kemasukan air sampai selutut. Airnya kotor bercampur dengan lumpur dan air dari toilet. Aku susah, anak-anak senang karena waktu ngepel mereka main meluncur di atas semen yang licin.
Bulan lalu begitu suamiku bilang kami sudah bisa masuk ke rumah kontrakan baru sebulan lagi, aku segera memintanya memanggil Si Besok-Besok untuk memotret kami (Si Besok-Besok itu nama panggilannya saja, bukan nama sebenarnya. Soalnya setiap orang nanya foto yang dia ambilkan sudah selesai belum, jawabannya selalu "Besok... Besok."). Noni ngambek tak mau berdiri bersama karena aku marahi waktu taruh plester di pusarnya yang luka dia korek-korek. Heran sekali kenapa harus mengorek pusar sendiri setiap minum susu botol. Nenek yang tinggal di bagian depan rumah sudah aku kasih tahu bahwa kami akan pindah. Nenek baik yang selalu mencuci pakaiannya sendiri. Setiap imlek selalu memberikan anak-anak angpau. A Sia sudah bilang, dia senang sekali karena tetangga di rumah kontrakan baru itu kalau Minggu pergi ke gereja, sedang tetangga di sebelah kanan pakai peci, jadi pasti Islam. Katanya kelak setahun dia tetap bisa makan kue hari raya tiga kali. Aku jadi teringat tetangga di rumah kontrakan kami yang pertama. Waktu lebaran, Uni (begitu aku memanggilnya karena dia orang Minang dan lebih tua dariku— anaknya yang paling besar sudah SMA waktu itu) membeli ayam kami satu-satunya. Sejak bulan puasa entah sudah berapa kali dia tawarkan untuk membeli Kunek— ayam jantan kami yang masih muda tapi besar badannya. Malam lebaran dia mengantarkan satu mangkuk gulai ayam dan bilang, “Untuk anak-anak.” A San dan A Sia makan dengan lahap. Jarang sekali mereka dapat makan ayam. Besok paginya A Sia tanya, “Mama, mana Kunek?” Aku bohong bilang tidak tahu, sejak kemarin tidak pulang. Setelah itu kami pindah rumah kontrakan dua kali lagi dan entah sudah berapa ekor ayam berganti-ganti tapi tidak ada lagi yang diberi nama oleh anak-anak. Mungkin mereka merasa cukuplah sakitnya kehilangan satu ayam kesayangan.
Entah berapa kali suamiku besok harus bolak balik bawa pindah barang kami dengan vespa barunya. Katanya mau minta tolong tetangga kami yang paling dekat, tukang becak Wahid. Tapi Wahid sudah seminggu sakit. Anak-anak juga sudah bertanya terus mengapa Wahid yang biasanya tiap pulang narik selalu singgah di rumah bercanda dengan mereka sudah seminggu tidak mampir. Besoklah kutanya istrinya gimana keadaannya sekarang. Sebaiknya aku tidur saja… banyak sekali yang harus dikerjakan besok.
Baca juga: Kenangan Rumah Pertama
Komentar
Oooo... makasih, Pera! :D
Oooo... makasih, Pera! :D
ini aku Rose. :)
ini aku Rose. :)
Terimakasih, maunya namanya…
Terimakasih, maunya namanya jangan Anonim biar saya tahu mau berterimakasih sama siapa... :D
Rose...saya teringat banget…
Rose...saya teringat banget dgn foto kenangan ini, ,,,dulu minggu pagi setiap mau latihan Badmin dgn Ko Hasan , Beng An dan Cin Yau, harus melompati parit besar belakang rumah,....haduuh..sungguh foto kenangan yg sangat luar biasa.... (Y) (Y)
Rose...saya teringat banget…
Rose...saya teringat banget dgn foto kenangan ini, ,,,dulu minggu pagi setiap mau latihan Badmin dgn Ko Hasan , Beng An dan Cin Yau, harus melompati parit besar belakang rumah,....haduuh..sungguh foto kenangan yg sangat luar biasa.... (Y) (Y)
Tambah komentar baru