30 tahun yang lalu jurusan Psikologi di Indonesia belum sepopuler sekarang. Jadi tidak heran jika orang tua akan mengernyitkan dahi jika ada anaknya yang memilih kuliah di jurusan ini. Saya masih ingat dengan jelas bagaimana ekspresi dan reaksi kebanyakan orang ketika pertama kali mendengar kata psikologi. Hah, yang urusannya dengan orang sakit jiwa ya? Ntr kerjanya di RSJ dong. Koq mau sih ngurusin orang ga waras? Orang menghindari urusan mental karena dianggap jika sudah mengarah ke mental, itu pertanda tidak waras lagi. Malu untuk mengakui diri bermasalah dengan pikiran yang kacau, tidak bisa fokus, hati yang galau, tidak pe de untuk tampil, dan sebagainya.
Kita cenderung lebih fokus menjaga kesehatan fisik, lebih peduli dengan tingkat kolesterol, tekanan darah, rambut yang menipis, radang sendi, dan aspek fisik lainnya. Sudah punya jadwal rutin kapan harus cek darah, mammografi, pap-smear dan rekam jantung. Bagaimana dengan check up mental?
Pernahkah anda berpikir sejauh mana dampak penolakan yang anda terima sebulan yang lalu dan membuat anda tidak percaya diri untuk kembali maju? Cemas berlebihan ketika anak anda harus kuliah di kota lain dan tinggal di kost, cemas dengan isu pensiun dini yang akan diberlakukan di kantor untuk efisiensi karyawan, ikut khawatir setiap kali anak akan ujian dan membuat anda tidak bisa tidur. Stress menumpuk, akhirnya timbul keluhan sakit ini sakit itu namun ketika diperiksa, fisik dinyatakan sehat. Yang tidak sehat itu sebenarnya apa? Dari mana asal semua keluhan itu?
Problem kesehatan mental sebenarnya sangat krusial. Dalam tahun 2014, statistik menunjukkan data di Amerika sebagai berikut:
- 1 dari 5 orang Amerika mengalami gangguan mental.
- 1 dari 10 orang muda mengalami depresi.
- 1 dari 25 orang mengalami gangguan mental serius seperti: schizophrenia, bipolar dan depresi berat.
Bunuh diri adalah penyebab kematian urutan kesepuluh di Amerika. Lebih dari 41.000 orang Amerika bunuh diri setiap tahunnya, dua kali lebih banyak dari angka kematian karena dibunuh, kecelakaan, euthanasia atau tindakan yang disebabkan oleh orang lain. Urusan kesehatan mental menjadi urutan kesekian karena dianggap kurang penting.
Masih ingat berita kematian Robin Williams karena bunuh diri pada tahun 2014 yang menyentak jutaan penggemarnya di seluruh dunia? Aktor kawakan yang memenangkan penghargaan ini menderita Lewy Body Dementia, sejenis penyakit dementia yang sering berlanjut dengan gejala Parkinson, depresi, dan halusinasi. Karena penyakitnya itu, Robin hidup dalam kondisi depresi berat dan kecanduan alkohol.
Pada tahun 1999, ketika Al Gore menjadi wakil presiden di Amerika, istrinya, Tipper Gore berjuang melawan kesedihan mendalam akibat kecelakaan fatal yang nyaris membuat puteranya meninggal. Ia memberi testimoni yang dimuat di situs USA Today tentang betapa pentingnya perawatan kesehatan mental. Obat-obatan dan konseling membantunya untuk keluar dari masalah berat yang dihadapinya ketika itu. Gwyneth Paltrow, artis pemenang Academy Award, mengalami 5 bulan masa postpartum depression setelah kelahiran putera keduanya. Patrow menceritakan bagaimana ia hidup seperti zombie, hidup tanpa ‘rasa’ apapun. Ia akhirnya sembuh dari depresi setelah mendapatkan perawatan intensif soal kesehatan mentalnya.
Apa Itu Kesehatan Mental?
Menurut World Health Organization (WHO) kesehatan mental mencakup kesejahteraan diri, kemandirian, kompetensi, ketergantungan pada orang lain, aktualisasai diri dan potensi emosional seseorang. Kesejahteraan diri tergantung dari sejauh mana kemampuan seseorang mengatasi stress dalam kehidupan sehari-hari, produktivitas kerjanya dan kontribusinya pada komunitas. Freud mendefinisikan kesehatan mental sebagai kapasitas bekerja dan mencintai (to work and to love), bagaimana seseorang menikmati hidupnya dengan menciptakan keseimbangan antara aktivitas sehari-hari dengan usaha mencapai kondisi psikologis yang sehat.
Intinya, mental yang sehat adalah mental yang tidak sakit, tidak ada kelainan, tidak ‘melenceng’ dan mampu bertahan pada level emosi yang stabil dan ‘tahan banting’ (psychological resilience). Mampu berinteraksi dengan orang lain dan mampu beradaptasi dalam berbagai situasi. Seseorang dikategorikan mengalami gangguan mental (mental disorders) jika ada perubahan mood yang ekstrim, cara berpikir dan tingkah lakunya aneh.
Orang yang punya mental tidak sehat biasanya akan mengalami salah satu kondisi berikut ini:
- Stress
- Depresi
- Kecemasan
- Bermasalah dengan lingkungan yang menyangkut hubungan dengan orang lain
- Mengalami kesulitan belajar
- Kecanduan pada sesuatu hal: rokok, seks, narkoba
- Tingkah laku hiperaktif
- Sulit fokus
- Gangguan mood (mood swing)
Guy Winch, Ph.D., psikolog dan penulis buku: The Emotional First Aid, yang telah diterjemahkan dalam 20 bahasa dan menjadi pembicara dalam TED Talk (yang videonya ditonton lebih dari 2 juta orang) dengan mengangkat topik: Why We All Need to Practice Emotional First Aid. Winch memberi contoh ketika kaki terluka, kita segera membersihkan luka dan mengobatinya. Tapi bagaimana ketika kita dibully dan kehilangan rasa percaya diri, apa yang kita lakukan? Atau ketika tidak bisa tidur dan terus dibayangi oleh trauma kecelakaan yang kita alami beberapa waktu yang lalu? Dalam buku dan ceramahnya tentang masalah luka emosional, Winch memberikan langkah-langkah apa yang dapat kita lakukan ketika menghadapi penolakan, kesepian, trauma, rasa bersalah, kegagalan atau perasaan rendah diri.
Menurut Winch, ada tujuh luka emosional yang sering kita alami.
- Penolakan (Rejection)
- Kesepian (Loneliness)
- Kehilangan dan trauma (Loss and trauma)
- Rasa bersalah (Guilt)
- Kekhawatiran yang berlebihan (Rumination)
- Kegagalan (Failure)
- Minder (Low self-esteem)
Beberapa poin yang dapat dipetik dari Guy Winch:
- Mengatasi kesepian: Kesepian kadang kala disebabkan karena kita membuat dinding pemisah yang tinggi dengan orang lain, takut membuka diri dan takut membina hubungan. Kita bisa mencoba lebih terbuka, lebih luwes dalam bergaul dan mulai dengan berpikir positif ketika mulai berinteraksi. Semakin kita mengenal seseorang, akan semakin besar rasa percaya padanya dan membuat kita lebih nyaman dan terbuka.
- Hentikan ‘pendarahan emosional’ ketika mengalami penolakan yang menggerus rasa percaya diri. Lihatlah penolakan dan kegagalan itu dari sisi yang lain. Jadikan sebagai cermin untuk mencari di mana poin yang salah, apa yang kurang, mengapa saya ditolak.
- Asah mental menjadi tahan banting, tidak mudah goyah atau terpengaruh. Orang yang sehat secara mental bukan berarti tidak mengalami masalah emosional sama sekali tapi mereka tahu bagaimana menjaga keseimbangan dan tidak gampang jatuh atau tersesat. Perluas pergaulan, latih diri untuk toleransi dan menerima perbedaan pendapat, menekan ego, belajar menjadi pendengar yang baik.
- Jika merasa yakin diri kita tidak pernah akan sukses setelah mengalami kegagalan demi kegagalan, itulah yang benar-benar akan terjadi. Pikiran sulit dirubah jika diri sendiri merasa yakin. Jadi rasa tidak berdaya ini harus dilawan, diri sendiri yang mampu mengontrol dan menghancurkan siklus negatif itu.
- Saat kesehatan mental memburuk karena urusan mental tidak menjadi prioritas, harga diri (self esteem) akan rentan dan mudah dipengaruhi oleh stress, kecemasan, kegagalan, penolakan. Butuh waktu lebih lama dan biaya psikologis yang lebih besar untuk pemulihan. Lindungi dan jaga self esteem dengan tidak menyalahkan atau selalu berpikirian negatif dan membully diri sendiri. Self esteem adalah sistem pertahanan emosional kita (emotional immune system).
- Kualitas hidup akan menjadi lebih baik jika kita terus melatih diri menjaga kondisi emosional tetap higienis dengan merubah sikap, merubah cara pandang dan merubah kebiasaan jelek.
Kesehatan mental penting dalam setiap phase kehidupan, dari masa kanak-kanak, remaja hingga masa dewasa. Jaga mental tetap sehat dan menjadi diri yang tahan banting.
Baca juga: Resilience - Tahan Banting
Tambah komentar baru