Reminiscence (Bagian I)

Saya pernah punya guru Bahasa Inggris seorang perempuan dari London yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Guru ini begitu menarik bagi saya karena dia menerangkan semua pelajaran dalam bahasa Inggris. Selain menyukai cara mengajarnya, saya juga sangat mengagumi pribadinya.

Saya belum mengerti arti minimalis pada saat itu. Tetapi dengan memperhatikan berbagai hal dalam keseharian guru ini saya memahami gaya hidupnya, gaya hidup yang didasari oleh kesadaran akan kesederhanaan, alakadarnya, serba bersahaja. Lewat guru itu saya menyaksikan gaya hidup minimalis jauh sebelum konsep minimalis tersebut –dalam seni, termasuk arsitektur-- menjadi tren di dunia.

Beliau pernah mengajarkan arti kata reminiscence, kenangan atau memori masa lalu, bukan sekadar dengan definisi atau batasan, tetapi dengan meminta kami, murid-muridnya, menulis satu cerita dengan satu kata itu. Bulan lalu ada reminiscence yang membawa saya ke masa lampau. Itulah yang saya tulis di sini, penelurusan ke masa lalu untuk menghormati guru saya tadi.

Kacang Bogor
Sulit membayangkan sudah lebih dua dekade saya tidak makan kacang bogor rebus.

Saya dengan kawan-kawan semasa SMA berkumpul di Padangsidimpuan, kota kami semasa remaja. Dengan Dokter Neny --teman akrab dari masa saya masih tidak merasa perlu menyisir rambut kalau ke sekolah-- yang kini tinggal di Solo, saya buat janji untuk bertemu di bandara Kualanamu Medan. Dari Kualanamu, kami terbang ke Pinangsori, bandara di kota Padangsidempuan. Sudah 22 tahun lebih saya tidak pernah menginjakkan kaki di kota ini.

Dari bandara Pinangsori kami tidak langsung masuk kota Padangsidimpuan, tetapi mencuri waktu mengunjungi seorang teman semasa di SMP dan SMA yang sekarang tinggal di biara OSF San Damiano di Pandan, Sibolga, biara yang diresmikan pada bulan Oktober 2007. Setelah istirahat minum teh kami dibawa melihat-lihat biara. 

Biara
Halaman biara ditanami bunga, pepohonan, dan sayuran di halaman belakang.
Pintu Kapel
Di depan pintu kapel

Ada satu rasa yang sudah lama saya lupakan ketika berada di dalam biara, terutama ketika masuk ke dalam kapel kecil tempat para suster beribadah. Rasa yang hanya dimiliki oleh kanak-kanak yang belum mengerti arti kata “dosa”, rasa damai, tenang … tiada cemas. Kenangan semasa kanak-kanak itu menyadarkan saya bahwa seharusnya setiap tempat religius memberi rasa seperti itu pada setiap orang yang berada di dalamnya, dan semua orang menghormati serta menjaga agar rasa itu tidak menjadi tiada.

Kapel
Damai

Selanjutnya: Reminiscence (Bagian II)

Tambah komentar baru

Teks polos

  • Tidak ada tag HTML yang diperbolehkan.
  • Baris dan paragraf baru akan dibuat otomatis.

Awal Maret 2024, untuk merayakan 30 tahun pernikahan kami, saya dan suami memutuskan untuk...

Rose Chen

Baca juga tulisan sebelumnya:...

Rose Chen

Hari pertama di Chiang Mai dimulai dengan shopping di Maya Lifestyle Shopping Center...

Rose Chen

Pulau Keelung (Keelung Islet) adalah pulau kecil yang terletak lima kilometer dari...

Rose Chen

Di Taiwan sayur paku sarang burung adalah kegemaran orang lokal. Biasanya mereka tumis dengan...

Rose Chen