Saling Memaafkan

Maaf lahir batin. Kalimat yang sering kita dengar ketika bulan Ramadhan dan Idul Fitri tiba. Apakah saling memberi maaf hanya dibutuhkan pada saat tertentu saja? Kata orang bijak, untuk mempertahankan hubungan yang sehat dan positif antar individu kita harus belajar untuk memaafkan. Memaafkan menjadi salah satu unsur penting dalam satu hubungan selain kepercayaan, kejujuran, keahlian berkomunikasi dan tenggang rasa.

Sekali waktu ketika masih SD, putera sulung saya memacu sepedanya dengan kencang dan ‘lupa’ mengurangi kecepatan ketika akan belok. Roda depan masuk got. Ia pulang dengan lutut  luka, celana basah dan kotor. “Sori ya, Ma. Aku tadi ngepot-ngepot dan lupa ngerem.” Takut dimarahi, jadi sambil meringis menahan perih, tidak berani menangis karena tahu ini kesalahan sendiri. Setang sepeda juga bengkok. Pernah juga putera bungsu saya mematahkan cutter yang diambil dari meja tulis saya di rumah. Ia langsung kirim sms minta maaf: Sori Ma, aku matahin cutter Mama. Sepotong kata ‘sori’ itu melumerkan hati dan membuat saya tidak tega mengomel panjang lebar karena ia sudah minta maaf.

Kata teman saya: “Itu kan persoalan sepele jadi mudah untuk memberi maaf dan melupakan rasa gundah atau sakit hati. Gimana kalau dihadapkan pada kasus yang besar dan banyak merugikan?” Betul, memang mudah mengatakan kita harus memaafkan orang lain dan melupakan semua rasa sakit hati itu, tetapi pasti sulit untuk diterapkan.  Lagipula tidak semua kondisi dapat dimaafkan dengan begitu saja seperti kasus ekstrim ayah yang memperkosa puterinya, kasus pembunuhan anggota keluarga, atau kasus pasangan yang berselingkuh.


Apa Memaafkan Itu?

Dalam pengertian saya, memaafkan sama dengan melepaskan semua pikiran negatif dan rasa tertekan yang membuat kita tidak nyaman karena perbuatan orang lain. Membebaskan diri dari hal-hal negatif yang lama kelamaan menjadi racun dalam diri kita. Memaafkan adalah suatu proses dan seringkali butuh waktu yang panjang untuk sampai pada tahap ‘rela’ dan ikhlas.

Memaafkan tidak berarti melupakan apa yang diperbuat orang lain pada kita atau menempatkan orang yang membuat kita sakit hati pada posisi yang sama seperti sebelumnya. Akan ada ‘tembok’ yang menjadi pemisah setelahnya. Jadi memaafkan tidak sama dengan melupakan atau rekonsiliasi hubungan. Kita memaafkan orang lain untuk mengobati luka di hati, meskipun bekas luka (scar) akan selalu ada.

Efek Memaafkan

Seberapa besarkah efek memaafkan itu? Secara umum, memaafkan diartikan sebagai keputusan untuk melepaskan kemarahan dan pikiran untuk balas dendam. Rasa sakit hati, marah dan tersinggung yang awalnya melekat pada diri kita, lambat laun akan mencair karena memaafkan. Memaafkan bahkan bisa mengarahkan kita menjadi lebih mengerti, menimbulkan empati atau rasa sayang pada orang yang menyakiti kita, membuat kita lebih fokus pada sisi positif dari kehidupan.

Dalam hubungan antar anggota keluarga, antar teman, maupun antar kolega, selalu timbul masalah beda pendapat, ketidakcocokan,  atau rasa frustrasi dengan sikap orang lain. Bagaimana kita menyikapi setiap “drama”, menjadi faktor penting berhasil atau tidaknya suatu hubungan yang harmonis. Jika kita selalu bersikap antipati, penuh prasangka, curiga, dapat dipastikan hubungan itu tidak akan memberi rasa damai dan tenteram.

Artikel berjudul: "Forgiveness and Relationship Satisfaction Mediating Mechanism", yang dipublikasikan dalam Journal of Family Psychology, mengemukakan bahwa memaafkan menjadi salah satu atribut penting untuk menjaga hubungan tetap sehat dan langgeng karena pengaruh positif memaafkan, yaitu:

1. Konflik dan pikiran negatif menjadi berkurang. Jika kita sedang marah atau sebal pada seseorang, meskipun hanya karena urusan sepele, kita cenderung hanya memperhatikan sisi negatif mereka, mencari-cari kesalahannya, mengungkit kesalahan yang dulu pernah ia lakukan. Bagaimana hubungan yang sehat bisa terbentuk jika kita selalu berkutat pada kesalahan atau rasa sakit hati yang sudah berlalu atau sering mengungkit dan menyindir.

2. Mampu berpikir jernih dan rasional. Jika kita menganggap hubungan yang baik adalah investasi jangka panjang, maka perilaku dan bagaimana kita berinteraksi akan mencerminkan sejauh mana kita menginginkan hubungan ini berlangsung. Saling memaafkan bisa menjadi terapi yang menyembuhkan dalam satu hubungan. Membuat kita bisa berpikir lebih jernih dan menghindari pikiran irasional. Kadang kala yang dibutuhkan hanya rasa rela menghapus dan melepaskan emosi marah atau emosi negatif tersebut.

3. Memberi rasa tenteram dan damai pada diri sendiri. Bisa dibayangkan jika kita tidak rela untuk memaafkan dan tetap menyimpan rasa kesal, ‘gerundelan’, marah atau bahkan dendam untuk waktu yang lama, siapa yang akhirnya makin dirugikan? Diri sendiri ,bukan? Kitalah yang membuat keputusan siapa, untuk hal apa dan kapan kita akan memaafkan.

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum tiba pada keputusan untuk memaafkan:

1. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa memaafkan akan membuat anda merasa lebih lega, bahagia dan sehat. Rasa marah atau dendam yang dipendam akan menjadi pemicu stres yang kronis. Hormon stres (hormon kortisol) akan meningkat setiap kali anda teringat pada kejadian yang membuat anda sakit hati dan marah. Dalam jangka panjang, kondisi fisik dan psikis anda akan terganggu.

2. Manfaat memaafkan dalam satu hubungan tergantung pada respons orang yang membuat anda marah atau tersinggung. Jika setelah memaafkan, ternyata orang tersebut terus bersikap menjengkelkan, tidak hormat atau tidak menghargai anda, maka anda akan merasa diperlakukan seperti ‘keset’ dan melunturkan rasa percaya diri anda. Kita bisa melihat banyak contoh seperti misalnya suami yang berselingkuh, isterinya memaafkan, tidak lama kemudian kembali berselingkuh. Asisten rumah tangga yang kedapatan mencuri, setelah dimaafkan, di lain kesempatan kembali mencuri. Rasa percaya diri kita akan bertambah jika orang yang sudah dimaafkan menunjukkan respons positif dan merubah perilakunya.

3. Dalam tiap hubungan antar individu, selalu akan timbul friksi dan membuat salah satu pihak merasa sakit hati jadi jika tidak ada kesempatan memaafkan, kita akan terus berputar dalam lingkaran yang negatif dan lama kelamaan akan menggerus hubungan tersebut.

4. Lebih mudah memaafkan orang yang melakukan kesalahan tanpa disadari atau yang tidak disengaja misalnya teman yang datang terlambat karena terjebak macet atau karena kendaraannya mogok, atau teman yang bicara ‘ceplas ceplos’ tentang suatu topik tanpa menyadari ternyata topik tersebut adalah hal yang sensitif bagi anda dan  membuat anda tersinggung. Bandingkan dengan teman yang dengan sengaja mengunggah foto candid anda dalam pose atau busana yang kurang pantas ke media sosial, dengan tujuan untuk mempermalukan anda.

5. Penelitian neurosains yang memindai otak menunjukkan pusat emosi dalam sistem limbik (otak besar) tubuh meningkat ketika kita memutuskan untuk memaafkan. Emosi negatif berkurang.

6. Memaafkan bukan berarti menghapus kesalahan yang diperbuat oleh orang tersebut dan membiarkannya ‘lepas’ begitu saja. Kita berharap dengan memaafkan, orang tersebut dapat menarik pelajaran dari sikapnya yang merugikan orang lain dan tidak melakukan lagi agar tidak ada korban berikutnya.

Dalam psikoterapi, salah satu teknik terapi yang banyak diterapkan adalah forgiveness therapy. Teknik memaafkan. Dengan melepaskan emosi negatif yang dipendam lama dalam bawah sadar, individu akan merasa lega dan lebih bahagia. Emosi negatif yang terus disimpan akan membuat individu semakin tertekan dan mempengaruhi perilakunya.

Memang tidak mudah untuk memaafkan, tapi kita bisa mencoba dan membebaskan diri sendiri dari semua perasaan negatif yang mengungkung diri.

Mohon maaf lahir batin. Selamat menyambut Hari Raya Idul Fitri bagi pembaca patahtumbuh yang merayakan.

Idul Fitri

 

SaveSave

Tambah komentar baru

Teks polos

  • Tidak ada tag HTML yang diperbolehkan.
  • Baris dan paragraf baru akan dibuat otomatis.