Taiwan Bukan Cina, Saya Juga Bukan

Saya lahir dan tinggal di Indonesia hingga memiliki dua anak. Besar di kota kecil, sebagai minoritas yang sering mendengar ejekan “cino balengkong” tidak membuat saya merasa tidak disukai. Dalam pergaulan, TIDAK pernah saya merasa tidak disukai karena saya adalah “cino balengkong” hingga saya dewasa. Selesai kuliah, saya mengabdi sebagai dokter di desa, di daerah yang sangat terpencil di kabupaten asal saya.

Sebelum memulai tugas, ada periode orientasi di ibukota kabupaten tempat orangtua saya tinggal. Orangtua saya menyediakan kamar di rumah kami untuk beberapa teman dokter peserta orientasi. Saya adalah satu-satunya peserta orientasi perempuan dan “Cina”. Seorang pembicara dari Dinas Kesehatan mengolok-olok kenyataan bahwa saya adalah seorang perempuan keturunan Cina. Diskriminasi ras dan gender sekaligus! Olok-olok itu tidak menyurutkan langkah saya. 

Kali pertama saya masuk ke desa tempat tugas untuk melapor ke Kepala Puskesmas, saya diantar oleh kedua orangtua saya, naik mobil pinjaman. Di tengah jalan, kami berhenti untuk menanyakan arah. Mobil tidak bisa masuk lebih jauh lagi karena kondisi jalan yang sangat jelek, kecil, dan penuh oleh lumpur. Saya harus naik ojek. Orangtua saya menunggu di halaman rumah kepala desa. Sepanjang jalan berkali-kali saya harus turun dari ojek, berjalan kaki dengan menenteng sandal. Kedalaman lumpur jalan kadang-kadang mencapai betis. 

Singkat cerita, sehabis melapor ke Puskemas, bersamaan dengan turunnya senja saya tiba kembali di tempat orangtua saya menunggu. Dari jauh saya melihat Papa saya tertawa. Turun dari ojek saya bertanya mengapa beliau tertawa.

Sambil menunjuk seorang laki-laki yang menemaninya Papa berkata, “Bapak ini berani bertaruh bahwa kamu pasti kembali sambil menangis dan minta dipindahkan ke tempat tugas lain.” Kepada orang itu Papa rupanya berkata, “Tidak, anakku akan kembali dengan tawa.” Kata Papa lagi, “Benar saja, dari jauh kami melihat kamu ketawa dan Papa bilang sama Bapak ini,’Betul yang saya bilang, kan?’”

Saya bertugas di desa tersebut selama tiga tahun. Dalam tahun pertama, perjalanan dari jalan besar hingga desa tersebut memakan waktu sekitar empat jam. Tapi ada perbaikan. Pada hari-hari terakhir saya bertugas di sana, perjalanan itu hanya memerlukan waktu satu jam. Listrik juga sudah masuk hingga pertengahan jalan (belum sampai desa saya tinggal). Tetapi air bersih belum ada. Selama di sana saya minum air sumur yang disaring dengan saringan DIY. 

Tiga tahun saya di sana bekerja sebagai dokter. Dalam masa itulah saya menikah dan melahirkan anak pertama. Ketika saya meninggalkan desa itu, anak saya --laki-laki-- berusia setahun, menjadi kesayangan penduduk desa. Mereka suka menggendongnya.

Friends
Saya bersama Gustina Siregar, sahabat masa SMA, sahabat masa kini.

Ini Taiwan, Itu Cina

Saya pindah ke Taiwan setelah memiliki dua anak. Suami saya --juga dokter--melanjutkan pendidikan spesialisi di Taiwan. Hingga sekarang sudah 18 tahun kami tinggal di Taiwan.

Kemarin saya membaca “debat umum” di situs favorit saya tentang Taiwan dan Cina. Sayangnya yang berkomentar kebanyakan orang Cina. Komentar dari orang Taiwan tidak sampai satu persen. Menurut saya, Taiwan bukan Cina. Saya tidak akan membahas persamaan mereka dalam hal kebudayaan karena lewat pengamatan saya melihat keduanya berbeda.

Cina dan Taiwan berbeda dalam hal pemerintahan. Aksara di Cina menggunakan Simplified Mandarin, Taiwan menggunakan Mandarin. Aksen mereka juga berbeda. Bahasa dan budaya penduduk juga tak sama. Waktu saya ke Beijing beberapa minggu yang lalu, saya melihat pertunjukan tari salah satu suku asli. Tidak satu patah kata pun yang bisa saya tangkap artinya. Bukannya mirip bahasa Mandarin, bahasanya terdengar di telinga saya lebih mirip bahasa suku Batak di Sumatera. Way of life/Way of thinking Cina dan dan Taiwan pada umumnya juga berbeda.  Demikian pula standard of living. Orang Taiwan disebut Taiwanese, bukan Chinese.

Seorang penulis komentator di situs yang menarik perhatian saya, Leung Kwan Pang, menulis, “If a group of people no longer identify themselves with others, do they have the RIGHT to leave?”

Komentar ini mengingatkan saya pada kejadian beberapa waktu yang lalu. Saya minum kopi bersama dua teman akrab, seorang Amerika dan seorang Indonesia lainnya (jika mau lebih rasis penjelasannya: pribumi) di sebuah cafe di Taiwan. Teman Amerika ini bertanya pada saya, "Saya boleh bertanya sesuatu hal yang sangat sensitif?" Saya jawab, “Silakan.” “Apakah kamu orang Cina?” katanya (dalam bahasa Indonesia yang diperhalus biar tak terdengar rasis tapi tetap saja rasis, Cina disebut: Tionghua). Saya kaget juga ditanya begitu. 

Ada dua hal yang penting diperhatikan di situ. Pertama; Saya berkulit kuning langsat. Indonesian yang “pribumi” terdiri dari beragam warna kulit, coklat, putih, kuning langsat, hitam. Semua ada. Teman “pribumi” ini kebetulan agak coklat (dark chocolate enak loh, Ela Chen). Sepertinya kalau di Indonesia, mungkin tidak ada yang meragukan saya keturunan suku mana. Kedua; kawan itu minta izin sebelum bertanya dan dia merasa pertanyaan itu sangat sensitif.

Saya menjawab, "Di luar Indonesia saya selalu merasa saya orang Indonesia ... SELALU. Di Indonesia, saya juga selalu merasa saya orang Indonesia, tetapi kadang-kadang orang seperti saya diingatkan bahwa kami adalah orang Cina, kecuali mungkin orang seperti Rudy Hartono atau Liem Swie King. Ha!” Mengapa dia bertanya? Apakah karena dia merasa bahwa saya bicara dan bertindak tidak seperti orang Cina dan lebih seperti orang Indonesia? Jika memang karena itu, tak ada masalah, karena saya MEMANG orang Indonesia!

Spin off pernyataan Leung - If a group of people identify themselves with others, don’t they have the RIGHT to stay?

Catatan: Tulisan ini pertama muncul sebagai note di akun Facebook penulis tanggal 11 Mei 2016.

SaveSave

SaveSave

Komentar

What's Brexit if Britain left the EU and what would happen?IF Brexit is voted for by the people of Britain, it'll not be
a historic victory for Eurosceptics but it is going to transform this country forever.
But what would occur? - https://www.brexitthemovie.com/

Tambah komentar baru

Teks polos

  • Tidak ada tag HTML yang diperbolehkan.
  • Baris dan paragraf baru akan dibuat otomatis.

Baca juga tulisan sebelumnya:...

Rose Chen

Hari pertama di Chiang Mai dimulai dengan shopping di Maya Lifestyle Shopping Center...

Rose Chen

Pulau Keelung (Keelung Islet) adalah pulau kecil yang terletak lima kilometer dari...

Rose Chen

Di Taiwan sayur paku sarang burung adalah kegemaran orang lokal. Biasanya mereka tumis dengan...

Rose Chen

Mungkin banyak yang belum pernah makan umbi bunga lily (bunga bakung). Umbi bunga lily bisa...

Rose Chen