Sebelumnya: Tidak Seindah Perkiraan (Bagian 2)
Saya diajari menyiram tanaman di pagi hari. Kalau tidak sempat, sore juga boleh, tapi jangan siang hari. Saya baru belakangan mengerti alasannya. Pada siang hari ketika transpirasi (proses bernafas tanaman) berlangsung dengan intensitas tinggi, penguapan air dari daun (evaporasi) juga berlangsung cepat. Karena itu, air yang diberikan buat tanaman di siang hari akan banyak terbuang. “Evaporasi” itu juga berlangsung cepat pada rok saya yang basah ketika saya tinggal di desa S.
Kesadaran warga desa S untuk segera minta tolong ke dokter jika ada anggota keluarga yang sakit sangat rendah. Entah merasa penyakit akan sembuh dengan sendirinya, entah khawatir tak mampu membayar dokter dan beli obat. Kata Kapus saya, pasien di desa, kalau belum hampir mati, takkan mencari dokter. Kalau si pasien sudah sangat parah tentu dia tak bisa jalan lagi. Jadi, dokter yang harus mengunjungi pasien di rumahnya. Teman saya di Medan sekali mengunjungi pasiennya yang diabetes untuk mengganti perban kaki yang luka mengenakan biaya dua kali lipat dari kalau pasien itu datang ke tempat praktek. Di desa S, tak ada cerita seperti itu. Biaya yang dikenakan sangat rendah, terkadang juga diutang.
Mengunjungi pasien hanya dapat dilakukan dengan berjalan kaki dan cukup jauh, kadang-kadang harus menyeberangi sungai. Kalau air sungai agak dalam dan rok saya basah, rok itu akan kering sesampainya di rumah pasien. Pada suatu hari, perjalanan yang saya lakukan menuju rumah pasien dengan rok basah lengket di paha itu, berlangsung di bawah terik matahari yang panasnya minta ampun.
Pasien itu tidak punya uang untuk membayar saya. Anaknya memberikan lima butir telur ayam sebagai tanda terima kasih. Saya tanya apakah itu ayam yang dia pelihara sendiri.
Anak Pasien: Iya, Bu Dokter. Tapi ayam kami hanya ada dua.
Saya: Ha? Kalau begitu jangan kasih saya telurnya. Untuk kalian saja.
AP: Tak apa, Bu. Besok dia bertelur lagi.
Saya: Saya jarang melihat orang pelihara ayam di sini? Padahal di kampung begini, kan mudah pelihara ayam.
AP: Orang tak berani, Bu. Tahun lalu suamiku beli 10 anak ayam dari kota. Kami pelihara hingga besar. Setelah besar, dicuri orang. Lebaran lalu kami potong satu. Kami jual sisanya kecuali yang dua ini. Daripada dicuri orang lagi, Bu.
Saya: Ada juga yang mencuri di desa, ya?
AP: Itulah Bu, ada … Orang malas yang mau enak saja.
Mendengar penjelasan anak pasien itu saya jadi ingin pelihara ayam. Saya teringat waktu masih duduk di bangku SMA, kami juga ada pelihara ayam di kandang yang tidak dikunci. Ayam-ayam itu akan pergi jalan ke halaman tetangga juga. Sialnya, saya yang kasih mereka makan, tapi tetangga yang dapat telurnya. Akhirnya ayam itu kami kunci di kandang. Pagi sebelum dilepas, Mama akan menusuk (dengan jari) lubang pantat ayam itu untuk mengetahui ada telur atau tidak --kalau ada, akan dikurung lagi hingga bertelur-- satu tindakan yang saya tidak pernah dan tidak akan berani melakukannya. Tak jadilah saya pelihara ayam di desa S.
Baca lanjutannya: Miskin Itu Relatif (Bagian 1)
Add new comment