Karena bahasa adalah alat untuk menyampaikan fakta dan gagasan, wartawan --baik reporter, apalagi editor-- hendaklah memahami diksi: maknanya dan pemakaiannya. Jika tidak, hasil transformasi fakta maupun gagasan menjadi bahasa, bisa keliru. Ia juga dapat melahirkan bahasa yang tidak logis, atau setidak-tidaknya bahasa yang susah dipahami.
*
Ada berita berjudul “17 Duta Besar Resmi Dilantik Presiden Jokowi”. Apa yang resmi? Menurut judul berita itu yang resmi adalah “dilantik presiden”.
Paragraf pertama berita tersebut berbunyi, “Presiden Joko Widodo resmi melantik 17 Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) untuk negara-negara sahabat di Istana Negara, Jakarta, Senin (13/3/2017) siang.” Apa yang resmi? Menurut kalimat itu, yang resmi adalah “melantik 17 duta besar”. Jadi, yang resmi itu adalah “dilantik” dan “melantik”. Padahal “melantik/dilantik” itu adalah proses, atau upacara peresmian (membuatnya jadi sah sebagai duta besar). Orang-orang itu resmi/sah menjadi duta besar setelah dilantik presiden, atau setelah presiden melantik orang-orang itu, mereka resmi menjadi duta besar.
Kalimat seperti itu boleh jadi berasal dari kalimat yang biasa terucapkan dalam bahasa lisan sehari-hari, bahasa yang seringkali berisi rangkaian ide yang kalut. Jika si wartawan tak punya filter buat mencegah masuknya bahasa seperti itu ke dalam media, berarti dia membolehkan atau bersikap permisif terhadap kekacauan berbahasa. Publik jadi makin terbiasa, merasa tak ada yang keliru ketika memakai yang salah. Jika itu terjadi, itu namanya mengingkari fungsi edukasi media.
Berbahayakah?
Berbahaya!
Bahayanya mungkin melebihi bahaya seruan untuk tidak menyembahyangkan jenazah pendukung lawan politik, karena ia dapat menulari siapa saja dan melanggengkan kekacauan nalar bahasa.
Catatan: Tulisan ini pertama kali muncul sebagai note di akun Facebook penulis pada tanggal 13 Maret 2017.
Tambah komentar baru