Mendekati pergantian tahun pada bulan Desember harga tiket pesawat selalu naik. Ketika akan berangkat ke Laos, saya merancang rute alternatif menghindari biaya yang mahal. Dari Medan saya akan ke Penang, disambung ke Kuala Lumpur dan pagi keesokan harinya dari Kuala Lumpur terbang ke Viantine, Laos. Dalam perhitungan saya, biaya yang dihemat lumayan, bisa buat ongkos penginapan selama di Laos. Namun akhirnya bukan seperti itu yang terjadi. Pesawat ke Penang delay tiga jam. Jadwal saya berantakan. Saya baru tiba di gate untuk check in Penang pukul 23.30 hanya untuk melihat pesawat yang ke Kuala Lumpur take off. Boarding pass yang sudah di-print di Medan jadi sia sia.
Tanpa membuang waktu saya ambil taksi ke Sungai Nibung untuk mencari bus ke Kuala Lumpur. Ada satu seat, tapi untuk bus yang berangkat pukul 01.30. Artinya saya baru akan tiba di Kuala Lumpur pukul 06.30, naik taksi ke bandara satu jam dan sudah pasti akan ketinggalan pesawat lagi yang take off pukul 07.40 ke Laos. Kalau itu terjadi saya baru akan bisa terbang ke Laos tiga hari kemudian. Penerbangan Kuala Lumpur - Laos hanya ada tiga hari sekali.
Tapi saya beruntung. Ada seat kosong untuk perhentian TBS (Terminal Bersepadu Selatan) yang lebih dekat ke bandara daripada perhentian ke Kuala Lumpur Sentral. Saya lega, dan melompat ke dalam bus. Selama perjalanan ditemukan ada dua kecelakaan: kecelakaan darat begitu keluar dari bandara Penang dan satu lagi kecelakaan laut di jembatan Butterworth yang terkenal itu. Dua orang hilang di laut.
Saya mengantuk. Bus yang berayun-ayun membuat saya terlelap, dan baru terjaga pukul 05:00. Tapi belum ada tanda-tanda akan tiba. Satu jam lagi? Saya kembali akan ketinggalan pesawat. Setelah saya tanya ternyata bagi supir bus ini pun tidak jelas stasiun TBS. Ya Tuhan ... Saya lihat ada beberapa taksi di jalan. Saya sudah bersiap-siap turun untuk mencegat taksi itu ketika busnya memutar balik. Salah jalan rupanya.
Begitu sampai saya langsung memanggil taksi. Sudah pukul 05:45. Perlu waktu satu jam untuk sampai di bandara. Supir taksinya saya minta berkonsentrasi menyetir mobil secepat mungkin. Pukul 06.25 saya tiba di bandara dan lega ketika boarding pass sudah di tangan. Akhirnya saya tiba di Viantine, ibukota Laos.
*
Keluar dari Wattay International Airport saya menghirup udara yang segar, tapi sinar matahari cukup terik. Tidak ada perbedaan waktu antara Laos dan Indonesia. Saya menukar uang dan mengambil taksi ke hostel – US$1 = 8.100 Kip. Biaya taksi ke hostel --30 menit perjalanan-- 57.000 Kip. Ada pilihan lain, naik songthaews atau tuk-tuk seharga 20.000 Kip per orang tetapi harus menunggu.
Laos atau Lao People's Democratic Republic (LPDR) adalah negara Asia Tenggara yang dikelilingi oleh Myanmar dan China di barat laut, Vietnam di timur, Kamboja di selatan dan Thailand di sebelah barat. Sejarah Laos dimulai dari Kerajaan Lan Xang di abad XIV. Perancis datang ke sana (menjajah) pada abad XVIII sampai Laos merdeka pada tahun 1953. Pada waktu itu Laos masih berbentuk kerajaan. Baru pada tahun 1975 ia berubah menjadi Peoples Democratic Republic sehingga namanya sekarang menjadi Lao PDR, dengan penduduk lebih kurang tujuh juta jiwa pada tahun 2016.
Sabaidee
Sabaidee adalah salam dalam bahasa Laos. Kehidupan di Viantine sangat santai. Berkeliling di kota itu cukup dengan berjalan kaki. Nama-nama jalan memakai Rue seperti di Perancis. Bulan Desember sampai Maret banyak wisatawan yang datang ke sini, terutama Eropa, Amerika, Jepang, Korea.
Saya lelah dan berhenti di sebuah sekolah dasar yang halamannya terbuka. Beberapa gadis kecil dengan ramah segera bergabung, kami duduk bersama. Usia mereka sekitar 11 tahun, umumnya tidak bisa bahasa Inggris. Saya membiarkan mereka main-main dengan handphone saya dan selfie. Mereka sedang mempersiapkan acara untuk menyambut pergantian tahun. Ibu dari salah seorang gadis kecil itu adalah guru di sekolah itu. Ayahnya, katanya, dosen di universitas. Saya ditraktir bir Laos oleh si ibu anak itu, sebagai salam perkenalan.
Pada malam hari banyak orang mengunjungi pasar malam di sepanjang tepian sungai Mekong. Untuk kota sekecil ini pasar malam itu begitu besar dan ramai. Ada ratusan tenda merah penjual aneka baju, mainan, handicraft sampai tas branded imitasi seperti LV dan Prada. Makanan juga tidak kalah banyaknya, barbecue, juhi panggang, dan juga snack
Saya kembali ke hostel sebelum sebelum pukul 21:00. Kehidupan malam masih berlangsung di luar sana. Pemilik hostel sibuk dengan barbecue di halaman untuk merayakan tahun baru dengan keluarganya. Sebagian penghuni menonton TV atau ngobrol di ruang tamu. Saya memilih mandi, tidur, dan terbangun di tengah malam oleh suara kembang api yang serasa bagaikan meledak di dekat kepala. Remah-remahnya berjatuhan di atap. Selamat Tahun Baru 2016!
Hari pertama 2016
Setelah sarapan ala kadarnya saya menyewa sepeda dari hostel, 100 ribu Kip untuk sepanjang hari. Sepedanya dibekali gembok dan rantai. Cuaca sejuk, tetapi mataharinya garang. Pagi ini jalan sepi sekali karena libur tahun baru. Saya menyusuri tepian sungai Mekong dengan santai. Pada mulanya kagok juga, karena lintasan di jalan raya di lajur kanan.
Jalanraya Viantine bagus-bagus. Petunjuk ada di mana mana, dan tidak usah khawatir tersesat karena setelah berkeliling tahu-tahunya kita sampai lagi di tempat semula. Tempat-tempat bersejarah tertera jelas ada di mana saja. Namun saya hanya mengunjungi beberapa objek turis, sisanya mencoba cari pengalaman sendiri.
Sorenya saya duduk di taman menunggu sunset. Taman ini berdekatan dengan arena pasar malam, menghadap sungai Mekong. Banyak yang berkunjung ke taman ini di sore hari, ada yang jogging, bersepeda, main skateboard, dan ada juga yang sekadar duduk ngobrol. Semakin sore semakin ramai. Jalanan sengaja ditutup mulai pukul 17:00 dari ujung utara ke ujung selatan.
Kalau ingin bergabung dengan ramainya turis mancanegara kita bisa pergi ke taman di balik gerbang “Arc de Triomphe-nya” Laos. Di sana kita bisa melepas lelah sambil menyaksikan dua air mancur yang menari-nari. Ingin berolahraga? Tempatnya di taman yang tidak jauh dari pasar malam, fasilitasnya lengkap seperti di gym berikut petunjuk pemakaian dan manfaatnya.
Saya pulang sebelum gelap. Hari ini hostel penuh. Banyak tamu yang datang mencari kamar tapi harus pergi lagi dengan kecewa.
Bus ke Luang Prabang
Di Laos tak usah bicara soal tepat waktu. Kalau disebut jadwal bus pukul 08:00, itu artinya 08.30. Kalau ada yang mengatakan 10 jam perjalanan, itu artinya 12 jam. Tidak ada yang protes ataupun berkeberatan. Lagi pula, kenapa harus buru-buru di Laos?
Ada tiga stasiun bus di Viantine: Viantine Bus Station, melayani bus antarprovinsi dan Thailand; Northern Bus Station melayani jurusan utara; dan Southern Bus Station melayani bus jurusan arah selatan. Tiket bus ke Luang Prabang yang saya beli di hostel seharga 150.000 Kip. Di situ sudah termasuk biaya penjemputan dari hostel ke Northern Bus Station (lebih kurang 30 menit perjalanan dari kota), satu kali makan siang di perjalanan dan satu botol air minum.
Penumpangnya campur baur antara wisatawan dan penduduk lokal. Di bagasinya mereka masukkan apa saja: koper, sepeda motor, arang, ayam, dan entah apa lagi. Dalam perjalanan kadang-kadang penumpang penduduk lokal bisa saja minta bus berhenti untuk membeli oleh-oleh dulu.
Naik pesawat ke Luang Prabang bisa menjadi pilihan, tetapi umumnya orang rela berjam-jam naik bus justeru untuk menikmati suasana dan pemandangan. Sekali lagi, untuk apa buru buru di Laos?
Kami tiba di Luang Prabang pukul 20.30. Bule di sebelahku bertepuk tangan saking senangnya. Bule di belakangku juga lucu. Ketika bus baru jalan tadi pagi dia tanya pada isterinya, “Apakah kamu merasa VIP?” Bus yang kami tumpangi itu bernama VIP Bus. Pukul 19:00 kembali dia bilang pada isterinya, “Well ... Ini adalah dinner time. Kenapa kita tidak pergi makan malam?”
Selama dalam perjalanan saya duduk di samping jendela, di atas bagasi, sehingga dapat melihat semua aktivitas yang terjadi ketika bus berhenti. Seorang ayah sampai di kampungnya, ditunggu dan disambut keluarganya di pinggir jalan. Anak-anaknya yang masih kecil berebut mengambil barang bawaannya dan isterinya menyambut dengan senyum. Itulah indahnya keluarga.
Luang Prabang
Luang Prabang berada di Laos bagian utara, merupakan tujuan wisata nomor satu di sini, terletak 700 m di atas permukaan laut dan dinobatkan sebagai salah satu World Heritage City oleh Unesco pada tahun 1995. Ada ratusan hostel di situ dan umumnya penuh. Hostel tempat saya tinggal berlokasi di gang. Rumahnya kecil, tapi waktu sarapan begitu banyak tamu: Jepang, Korea, China, Italia, Perancis. Padahal kamarnya cukup tua dengan ranjang kayu dan tilam yang agak berbau. Menu sarapan ditulis di secarik kertas, apakah egg toast atau omelet, kopi, atau teh, dengan nama kita tentunya dan tinggal tunggu dipanggil. Kayak di Starbuck saja ...
Saya bertemu banyak pelancong muda yang menghabiskan waktu berbulan-bulan berkeliling dimulai dari Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Laos atau sebaliknya. Keempat negara ini bagaikan surga bagi mereka. Selain harga-harga murah, keamanan terjamin, transportasi juga mendukung (banyak bus ataupun kereta api antarnegara). Di Laos sendiri, tuk-tuk tersedia di mana-mana, walaupun jalan kaki merupakan pilihan yang menyenangkan. Bersepeda juga sama asyiknya. Soal makanan janganlah ditanya, mau yang di emperan, kafe, atau di restoran, semua kelihatan sama enaknya.
Ada banyak wat (temple) yang bisa dikunjungi di Luang Prabang. Wat Si Saket dibangun tahun 1818, merupakan kuil tertua di Laos, terkenal karena arsitektur bangunannya yang indah dan lebih dari 6.800 patung-patung Buddha yang sebagian diperkirakan telah ada sejak abad XVI. Patung-patung dalam segala ukuran ini terbuat dari kayu, batu, dan perunggu.
Kalau bosan boleh pergi ke air terjun Kuang Si atau Tad Sae, bisa pergi sendiri dengan tuk-tuk atau mengambil paket tour dari travel. Belajar memasak atau membatik adalah pilihan menarik lainnya. Yang suka kehidupan alam ada pilihan elephant camp ataupun trekking. Atau melihat sunrise/sunset di Mount Phousi dan berbelanja di pasar malam.
Pagi ini saya pergi ke kantor biro perjalanan untuk mendaftar ulang dan melunasi biaya trip trekking yang sudah saya pesan sebelumnya di internet.
Trekking ke Kampung Suku Hmong
Semua peserta berkumpul di kantor biro perjalanan pukul 08.20. Setelah saling berkenalan kami berangkat naik tuk-tuk ke drop point. Dalam grup kami ada 10 orang, tiga dari Belanda, dua Italia, dua Amerika, dua dari Inggris dan tentu saja saya sendiri dari Indonesia. Kami ditemani dua orang guide.
Suku Hmong datang dari China ribuan tahun yang lalu dan menetap di gunung-gunung. Mereka memiliki bahasa sendiri yang sedikit berbeda dengan bahasa Laos, terbagi dalam 18 atau 19 clan/marga. Salah seorang guide kami adalah keturunan Hmong dan bermarga Lee. Kebanyakan mereka yang menetap di perkampungan ini masih menganut animisme dan percaya roh. Kami melewati dua perkampungan dan bermalam di kampung terakhir. Rata-rata satu kampung berpenghuni sekitar 40 keluarga. Mata pencaharian penduduknya bertani, memelihara kerbau, babi, dan ayam untuk dijual ke kota. Tidak ada listrik di sini, kehidupan dimulai pagi-pagi sekali dan kesibukan berakhir kalau hari telah gelap.
Murid sekolah belajar di kelas yang sangat sederhana. Mereka belajar fisika, bahasa Inggris, matematika serta bahasa Laos. Karena miskin, mereka ada yang hanya bersekolah sampai sekolah dasar ataupun SMP. Hiburan mereka adalah main sepak bola ataupun karet gelang bagi gadis-gadis kecil. Bila sudah tiba waktunya para pria akan mengunjungi rumah gadis pujaannya dengan membawa senter dan kayu di malam hari. Senter untuk menerangi jalan dan kayu untuk memukul anjing yang mengganggu. Sang gadis harus menyelesaikan pekerjaan rumahnya terlebih dahulu baru diizinkan untuk ngobrol di depan rumah. Biaya pesta pernikahan yang berjuta-juta Kip harus disiapkan sang pria pada saat lamaran.
Masyarakat suku Hmong percaya bahwa roh jahat berkeliaran di luar sementara roh baik tinggal di rumah. Seringkali roh jahat meminta persembahan dengan mendatangkan penyakit dan kematian. Untuk itu mereka akan membakar persembahan berupa uang kertas yang biasa dipakai sebagai persembahan untuk orang yang sudah meninggal, kerbau-kerbauan dan sebagainya, tergantung permintaan si roh yang disampaikan melalui mediator/dukun. Begitu yang diceritakan Chantey, guide kami, di bawah temaram cahaya lilin pada suatu malam. Di langit bintang bertaburan dan berkedip, cerita Chantey dilanjutkan di depan api unggun.
Saat ini suku Hmong banyak yang berimigrasi ke Amerika, China, Vietnam, Thailand, dan Myanmar. Hidup sepertinya tidak banyak pilihan buat mereka yang tinggal di perkampungan ini. Untuk mencapai kampung ini kami harus berjalan sekitar enam jam melewati hutan dan bukit bebatuan. Tidak adanya listrik membuat mereka makin jauh dari kehidupan sosial di luar sana. Bahkan beberapa tahun yang lalu banyak yang belum pernah melihat sepeda motor ataupun mobil. Melihat gambar dirinya sendiri dalam foto adalah kegiatan baru yang menyenangkan. Ada yang terheran-heran melihat foto dirinya yang kami ambil dengan kamera ataupun handphone, sebagian tertawa geli atau bahkan ada yang sedikit shock melihat potret dirinya.
Kami menempati dua rumah untuk tidur, dengan tilam tipis dan selimut. Kami tidur berjejer di ruangan satu-satunya dalam rumah itu. Malam jadi makin dingin dan lama kemudian barulah saya bisa tertidur.
Sekembalinya dari trekking saya memandang ranjang saya yang berbau di kamar hostel dengan sukacita, dan mandi di pancuran air hangat. Saya merasa bahwa kita, manusia, diciptakan dengan kemampuan yang luar biasa untuk bertahan dan beradaptasi.
Sepuluh JANGAN di Laos
01. Jangan berjalan sendirian di waktu larut malam
02. Jangan lupa berpakaian yang sopan dan membuka sepatu ketika mengunjungi tempat suci
03. Jangan lupa meminta izin sebelum mengambil foto seseorang
04. Jangan berpakaian yang terlalu minim
05. Jangan memegang kepala orang
06. Jangan lupa mengucapkan salam “Sabaidee” sambil tersenyum
07. Jangan lupa mencoba makanan Laos
08. Jangan sampai tidak pergi ke Luang Prabang
09. Jangan tinggal kurang dari tiga hari di Luang Prabang
10. Jangan pergi ke Laos pada musim panas, Mei – Agustus
Tambah komentar baru