Ketika Perceraian Tidak Dapat Dielakkan

Kemarin saya dapat kabar lagi tentang teman yang (ternyata) telah bercerai setahun yang lalu. Kabar yang cukup mengejutkan karena selama ini saya tidak melihat ada hal yang janggal di antara mereka berdua. Saya berteman dengan keduanya, si istri dan si suami. Beberapa kali masih saling kontak untuk urusan pekerjaan dan bertemu untuk sekedar hang out.

Hal yang membuat saya terkesima adalah soal hubungan baik yang masih terjalin di antara mereka berdua. Apapun alasan di balik perceraiannya, saya tidak perlu ikut campur tangan dan memberi penilaian (judgement). Itu urusan internal mereka. Bagaimana mereka membina hubungan setelah menjadi mantan suami dan mantan isteri, bagaimana mereka beradaptasi dengan kehidupan setelah perceraian dan bagaimana dengan co-parenting. Ini yang lebih penting untuk kita ketahui dan bisa menjadi cermin bagi pasangan lain. Beberapa media menyorot kehidupan selebritis yang masih berhubungan baik dengan mantannya dan bisa menjalankan co-parenting dengan nyaman. Sebut saja artis Gwyneth Paltrow dan Chris Martin atau model top Miranda Kerr dan Orlando Bloom, Denise Richards dan Charlie Sheen. Di Indonesia pasangan Rossa dan Yoyok Padi atau Betharia Sonata dan Willy Dozan juga bisa menjadi contoh pasangan yang kompak mengasuh anak meskipun statusnya sudah bercerai. Mereka tetap tampil sebagai orang tua dan berbagi tugas jika salah satu pihak sedang sibuk. Berusaha untuk hadir bersama pada acara-acara khusus si anak seperti ulang tahun, pertandingan olah raga, kelulusan/wisuda.

Perceraian adalah jalan terakhir penyelesaian hubungan yang tidak lagi bisa dilanjutkan sebagai pasangan. Dampaknya? Tentu saja berdampak paling kuat bagi kedua individu dan juga anak-anaknya (jika ada anak dalam perkawinan itu).

Efek Perceraian Pada Anak

Jika kita bicara soal efek perceraian, yang paling sering dibahas adalah efek pada anak-anak.

Masalah yang paling sering ditemui seperti:

– Murung
– Menjadi lebih pendiam dari biasanya
– Depresi
– Menjadi agresif
– Bermasalah dengan teman
– Muncul keluhan fisik seperti sering sakit kepala, sakit perut
– Prestasi di sekolah menurun
– Bermasalah dengan hukum.

Dari beberapa hasil penelitian, anak yang mengalami masalah setelah perceraian orang tuanya, biasanya berasal dari keluarga yang memiliki konflik berkepanjangan dan perceraian yang hiruk pikuk. Anak yang berhasil melewati masa transisi perceraian orang tuanya, memiliki orang tua yang tetap menjalin hubungan satu sama lain dengan baik dan menjalankan co-parenting.

Reaksi dan efek psikologis yang akan dialami anak-anak paska perceraian orang tuanya, tergantung pada tiga hal utama:

1. Kualitas hubungan anak dengan orang tuanya sebelum terjadi perceraian
2. Intensitas dan durasi konflik antar orang tua
3. Kemampuan orang tua untuk fokus pada kepentingan anak-anaknya.

Co-parenting

Marilyn Wedge, PhD., seorang terapis keluarga dengan pengalaman lebih dari 20 tahun menangani kasus perceraian, merekomendasikan beberapa poin bagi kedua individu agar sepakat mematuhi ‘aturan main’ untuk meminimalisir dampak negatif dari perceraian:

1. Tidak mempengaruhi anak untuk memihak.
2. Tidak menjelek-jelekkan atau mendiskreditkan mantan pasangan atau keluarga besarnya.
3. Sepakat pada penerapan aturan untuk anak-anak seperti urusan pe er, jam tidur, jam menonton, jam bermain dan sebagainya.
4. Yakinkan anak-anak bahwa ayah dan ibu tetap sayang pada mereka. Hubungan orang tua dengan anak tidak berubah. Yang berubah hanyalah status hubungan kedua orang tua, bukan  lagi sebagai pasangan.

Orang tua dan anak akan menghadapi situasi baru yang butuh adaptasi seperti:

– Pindah rumah atau pindah ke kota lain
– Pindah sekolah
– Berganti pekerjaan
– Kembali berkencan
– Menikah lagi
– Punya saudara tiri .

Poin terpenting adalah bagaimana kedua orang tua mengatasi konflik dan tetap berkomitmen untuk co-parenting. Anak akan belajar adaptasi pada kondisi yang tidak kondusif. Orang tua berusaha untuk mendampingi anak-anak semaksimal mungkin dengan pengaturan quality time karena tidak tinggal bersama lagi dalam satu rumah. Masih banyak tantangan lain yang harus dihadapi setelah perceraian dan semua butuh adaptasi dan energi. Bangkit kembali dan memulai hidup baru. Jadi jika hubungan dengan mantan pasangan tetap terjalin dengan baik, akan sangat membantu dalam menata kembali hidup setelah perceraian.

Tambah komentar baru

Teks polos

  • Tidak ada tag HTML yang diperbolehkan.
  • Baris dan paragraf baru akan dibuat otomatis.

Awal Maret 2024, untuk merayakan 30 tahun pernikahan kami, saya dan suami memutuskan untuk...

Rose Chen

Baca juga tulisan sebelumnya:...

Rose Chen

Hari pertama di Chiang Mai dimulai dengan shopping di Maya Lifestyle Shopping Center...

Rose Chen

Pulau Keelung (Keelung Islet) adalah pulau kecil yang terletak lima kilometer dari...

Rose Chen

Di Taiwan sayur paku sarang burung adalah kegemaran orang lokal. Biasanya mereka tumis dengan...

Rose Chen