Dalam sebuah berita yang dipublikasikan media, terbaca kalimat “Ketua RW 012 Kelurahan Bukit Duri, Muhammad, menuturkan, rencana relokasi warga sudah terdengar sejak lama.”
Lewat kalimat itu kita saksikan, kebiasaan yang keliru dalam bahasa percakapan, tanpa dipertimbangkan salah-benarnya diambil begitu saja menjadi bahasa tulis dan dibaca oleh khalayak luas. “Sejak lama” adalah frase yang tidak logis, tetapi kini sering terdengar dalam percakapan dan terbaca dalam beberapa tulisan.
Besar sekali kemungkinan frase “sejak lama” berasal dari orang yang tidak terlatih berpikir jernih. Pada saat dia berbicara, di dalam alam khayalnya muncul keinginan untuk mengatakan “sejak dulu, dan sudah lama”, tetapi yang terucapkan adalah “sejak lama”. Celakanya, frase “sejak lama” yang terdengar dari narasumber berita, dicaplok wartawan begitu saja. Agaknya inilah antara lain yang jadi penyebab munculnya kesalahan yang kemudian menjadi kaprah, karena dipopulerkan media massa.
Kata “sejak” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kata penghubung untuk menandai mulai dari. Kata “sejak” juga bermakna “dari”. Ia menjelaskan nomina, dan juga pronomina.
Kata “lama”, Menurut KBBI, adalah adjektiva, bermakna panjangnya waktu. “Lama” bukan nomina, dan juga tidak pronomina.
Jika kita menyebut atau menulis kata “sejak” dalam sebuah kalimat, sesudah kata “sejak” itu harus muncul kata yang menunjukkan saat atau kesempatan. Kata yang menunjukkan saat atau kesempatan itu dapat disebut sebagai tonggak waktu. Ia dapat menunjukkan waktu dengan tapal atau pancang yang pasti/tegas.
... sejak saat ini ...
... sejak pukul 07:00 ...
Ia juga dapat menunjukkan waktu yang tidak disertai dengan pancang yang pasti/tegas.
... sejak usia remaja ...
... sejak harga bergejolak ...
Ada baiknya wartawan menyaring kata-kata yang dipakai narasumber untuk dijadikan kutipan. Jangan dibuat kesalahan yang sudah kaprah menjadi langgeng sehingga akhirnya dianggap tidak lagi sebagai kesalahan.
Tapi untuk masalah menyaring kata-kata itu mungkin akan timbul debat, karena di dalam dunia jurnalistik ada dualisme mengenai cara membuat kutipan. Ada pendapat yang--keukeuh-- mengatakan, apa pun yang dikatakan narasumber --kalimat maupun kata-- tidak boleh diubah (demi akurasi). Pendapat lain menyebutkan, jika narasumber berbicara dengan kata atau kalimat yang salah, kata dan kalimat itu sebaiknya diubah. Untuk ini ada catatan: 1. Reporter harus yakin betul tentang maksud atau makna yang diutarakan narasumber. 2. Kutipan itu ditulis dalam bentuk kutipan tidak langsung.
Saya setuju dengan pendapat kedua. Jika wartawan harus mengutip narasumber yang berbicara dengan dialek Makassar misalnya, yang berkata “Saya datang jang tiga sore”, kalimat itu boleh dikutip menjadi; Dia mengatakan, dia datang pukul 15:00. Kalau narasumber berdialek Minang berkata “Kalau syaratnya seperti itu, jangan lagi”, kalimat itu dapat ditulis menjadi; Kalau syaratnya seperti itu, katanya, tidak usahlah. Apabila ada narasumber yang berkata, “Saya naik busway”, wartawan tidak keliru kalau mengatakan; Dia naik bus Transjakarta.
Jadi, kalau Ketua RW 012 Kelurahan Bukit Duri, Muhammad, mengatakan bahwa “rencana relokasi warga sudah terdengar sejak lama”, tulislah dengan cara lain yang maksudnya sama:
1. Ketua RW 012 Kelurahan Bukit Duri, Muhammad, menuturkan, rencana relokasi warga sudah terdengar sejak dulu.
2. Ketua RW 012 Kelurahan Bukit Duri, Muhammad, mengaku sudah lama mendengar adanya rencana relokasi warga.
Jurnalis dan jurnalisme membawakan peran menyampaikan informasi, mendidik khalayak, dan menghibur. Apabila produk wartawan turut menciptakan “beban” dalam urusan pengembangan dan pemeliharaan bahasa (Indonesia), itu berarti bertentangan dengan fungsi edukasi.
Tambah komentar baru